Alatternakayam – Industri perunggasan nasional berperan penting dalam ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun demikian, berbagai persoalan dan tantangan masih saja mengiringi industry ini. Mulai dari kebijakan yang belum terimplementasi secara optimal, kenaikan harga input produksi, serta ketidakseimbangan supply demand menjadi sekelumit persoalan yang solusinya belum mencapai akar permasalahan. Dengan iklim perunggasan yang sedemikian bar-bar, telah banyak pelaku usaha yang tak kuat bertahan, terutama para peternak mandiri.

Merespon hal tersebut, Komunitas Peternak Unggas Mandiri (KPUN) bekerjasama dengan solidaritas alumni SPR Indonesia mengadakan seminar dengan tema “Perlindungan dan Pemberdayaan Usaha Hulu-Hilir Industri Perunggasan Nasional” pada Rabu (30/10) di IPB International Convention Center, Bogor. Turut hadir sebagai pembicara Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika. Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak  Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Sintong Hutasoit, Direktur Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Bapanas Maino Dwi Hartono, Staf Ahli Kementerian Desa Tertinggal Samsul Widodo, serta Ketua Komunitas Peternak Unggas Nasional (KPUN) Alvino Antonio.

Dalam sambutannya, Harry Bromo selaku Ketua Panitia mengatakan bahwa acara ini bertujuan untuk mendorong adanya perlindungan usaha yang berkelanjutan pada sektor hulu dan hilir di industri perunggasan, supaya seluruh pelaku usaha bisa bangkit kembali. Menurutnya industri ini tidak hanya meliputi produksi, tetapi juga distribusi, pemasaran, dan pengolahan produk, sehingga perlindungan usaha harus mencakup seluruh rantai nilai dari hulu ke hilir, guna memastikan stabilitas harga, pasokan, dan daya saing, baik di pasar domestik maupun internasional.

“Dengan pendekatan ini, semua pelaku usaha, dari peternak kecil hingga perusahaan besar, dapat memperoleh manfaat yang setara dan berkelanjutan. Harapannya di akhir sesi nanti adanya kolaborasi antara seluruh stakeholder di hulu-hilir, serta pemangku kebijakan dengan pemerintah, para pengusaha, akademisi, pelaku usaha UMKM untuk membangkitkan perunggasan nasional supaya para petani-peternak bisa bermunculan kembali,” tegasnya.

Terkait perlindungan, Alvino Antonio selaku Ketua KPUN mengharapkan adanya langkah konkrit pemerintah dalam mewujudkan cadangan pangan pemerintah (CPP) melalui daging ayam dan telur demi kesejahteraan petani peternak UMKM. Dengan berjalannya CPP, diharapkan harga LB dan telur di atas HPP peternak mandiri bisa berjalan.

“Selain itu, dalam mewujudkan perlindungan peternak, kami mendorong adanya kepastian hukum dalam melindungi petani peternak UMKM. Hal ini menjadi wujud konkrit kesejahteraan petani peternak untuk ikut serta dalam mencerdaskan generasi yang akan datang,” tegasnya.

Sementara itu, Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika menekankan bahwa perlindungan adalah hak bagi peternak yang harus dipenuhi. Menurutnya perlindungan ini harus mencakup seluruh rantai nilai dari hulu ke hilir, guna memastikan stabilitas harga, pasokan, dan daya saing industri di pasar domestik dan internasional, demi keberlanjutan keuntungan bagi semua pihak.

“Saya memetakan beberapa potensi kerugian peternak yang selama inii  terjadi, seperti rendahnya harga jual ayam hidup di kandang, tingginya biaya sarana produksi peternak, terhambatnya pembayaran hutang piutang peternak mandiri kepada perusahaan pembibit dan perusahaan pakan, serta terhambatnya proses pembayaran kepada peternak mandiri dalam program perlindungan stunting. Untuk menghadapi hal tersebut, tentu peran pemerintah adalah melindungi atau memberikan proteksi bagi peternak. Namun, bukan hanya perlindungan, melainkan pemberdayaan bagi peternak juga harus diupayakan,” tegasnya.

Dirinya melihat bahwa hingga saat ini pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengatur strategi perlindungan dan pemberdayaan bagi peternak, misalnya dengan mengeluarkan Permentan nomor 13 dan 32 Tahun 2017. “Terhadap kebijakan tersebut masih minim implementasi sehingga permasalahan peternak masih nyata ada,” ujar Yeka menambahkan.

Masih dalam kesempatan yang sama, Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, Ditjen PKH, Kementan, Sintong Hutasoit menyampaikan bahwa masukan KPPU, Ombudsman, dan pelaku usaha telah dipertimbangkan dan diakomodir dalam revisi Permentan no 32 tahun 2017 tentang Penyediaan, Peredaran, & Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi menjadi Permentan no 10 tahun 2024. Kemudian, untuk implementasi perlindungan bagi peternak dirinya memberikan rekomendasi adanya penegakan ketentuan (Law enforcement) Permentan Nomor 10 Tahun 2024 termasuk penerapan sanksi sesuai PUU.

“Selain itu, kami mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk menerbitkan Permendagri yang mengatur pemerintah daerah agar melakukan pembatasan peredaran livebird di kota-kota besar dan mengganti dalam bentuk karkas segar dingin. Kemudian juga diperlukan tata kelola/manajemen over produksi oleh pemerintah dengan memberikan penugasan kepada BUMN pangan untuk melaksanakannya melalui kebijakan Peraturan Presiden,” tambahnya.

Sumber: poultryindonesia.com