Alatternakayam – Dalam rangka penyesuaian kebijakan ayam ras dan telur konsumsi, Kementerian Pertanian (Kementan) menyelenggarakan sosialisasi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 10 Tahun 2024 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi yang merupakan revisi dari Permentan RI No. 32 Tahun 2017, di Kantor Pusat Kementan, Selasa (29/10).
Dalam pemaparannya, Plt. Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, Sintong Hutasoit, menyampaikan bahwa kehadiran regulasi baru ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk merespon perubahan dan tantangan terkini dalam industri perunggasan. Ia menambahkan bahwa substansi Permentan ini juga telah mengakomodir rekomendasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Ombudsman RI serta masukan seluruh pelaku usaha dan telah melalui proses panjang, 3 kali public hearing dan 4 kali harmonisasi oleh Kemenkumham bersama K/L terkait, sebelum mendapatkan persetujuan Presiden untuk diterbitkan.
Selain itu, menurutnya revisi Permentan ini juga mengikuti perkembangan hukum yang berlaku, termasuk pembagian peran dan kewenangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), penugasan BUMN di sektor pangan dan Perum Bulog dalam menjaga stabilitas ayam dan telur konsumsi.
“Ini tentu hal baik untuk kita memulai kedepan, kita punya payung hukum baru yang akan kita laksanakan bersama sama dan kami berharap partisipasi dari seluruh para pelaku usaha. Jadi pada permentan sebelumnya ada beberapa hal yang tidak terakomodir, salah satunya terkait stabilisasi harga. Sekarang dengan adanya Kementerian/Lembaga tersebut sudah dapat terakomodir”, ungkapnya.
Ia jelaskan, dalam regulasi ini, pihaknya telah memperkuat beberapa aspek penting. Salah satunya adalah aspek pengawasan distribusi dan tata niaga, yang bertujuan agar peredaran ayam ras dan telur konsumsi dapat terpantau lebih baik, sehingga industri ini lebih stabil dan menekan fluktuasi harga yang merugikan peternak dan konsumen. “Kami mengatur mekanisme pengawasan yang sifatnya reguler secara rutin dapat dilakukan, jadi ada yang sifatnya rutin ada juga yang sewaktu-waktu berdasarkan dinamika dan kebutuhan”, terangnya
Sebagai informasi, dalam substansi Permentan No. 10 Tahun 2024 secara tegas telah mengatur pembagian distribusi DOC FS broiler untuk internal dan kemitraan maksimal 50% dan paling sedikit untuk eksternal 50%. Kebijakan ini diharapkan dapat mewujudkan keseimbangan distribusi DOC, mendukung keberlanjutan usaha peternakan mandiri, serta memperkuat kolaborasi antara berbagai pelaku usaha di industri perunggasan. Adapun masa penyesuain pengalokasian DOC ini hingga pada tanggal 1 Januari 2027.
Kemudian pada aspek hilir, diatur pelaku usaha perunggasan ayam ras pedaging dengan jumlah chick-in mencapai 60 ribu ekor per minggu wajib memiliki dan/atau menguasai rumah potong hewan unggas (RPHU) yang telah memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV) dan dilengkapi dengan fasilitas rantai dingin. Kapasitas pemotongan livebird di RPHU sejak Permentan ini diterbitkan tahun pertama minimal 30% dari yang dibudidayakan, dan ditargetkan pada tahun kelima telah mencapai 100 persen.
Di sisi lain, perubahan Permentan yang banyak mendapatkan sorotan dari para pelaku usaha ayam petelur adalah diperbolehkannya para stakeholders untuk mengedarkan telur tetas yang belum diinkubasi dan layak dikonsumsi dengan ketentuan ; diperjualbelikan sebagai bahan baku pengolahan; atau dalam rangka tanggung jawab sosial pelaku usaha (Corporate Social Responsibility/CSR) atau bantuan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 16 Permentan No. 10 tahun 2024.
“Tentu kedepan kita butuh berbagai penyesuaian dan pengawasan dalam Permentan ini. Seperti halnya dalam pengalokasian DOC broiler saat ini. Dari data kami, saat ini 68,11% DOC broiler itu diserap oleh internal integrator dan kemitraannya, sedangkan para pelaku usaha mandiri, peternak dan koperasi sekitar 31,89 %. Artinya, ke depan kita butuh berbagai penyesuaian. Dan penerapan Permentan ini tidak akan efektif tanpa dukungan dan kerja sama dari seluruh pihak, termasuk pemerintah daerah, asosiasi peternak, dan para pelaku usaha sendiri. Kementan akan terus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi peraturan ini, guna memastikan regulasi ini mampu memberikan hasil yang maksimal bagi seluruh pelaku industri perunggasan.
Harapan stakeholders perunggasan
Seiring terbitnya Permentan No. 10 tahun 2024, berbagai respon, tanggapan hingga harapan pun terlontar dari stakeholders perunggasan. Sukarman, seorang peternak layer dari Blitar mengungkapkan bahwa dengan diperbolehkannya telur tertunas beredar dengan ketentuan tertentu, maka diharapkan pemerintah dapat mendata dan mengawasi peredaran telur tertunas tersebut.
“Jangan sampai telur tertunas itu dijual di pasar becek atau pasar konsumsi, sehingga akan menekan harga telur di peternak layer. Jadi saya berharap pemerintah dapat mendata perusahaan breeding A menjual ke pengelola makanan mana, dan seterusnya, sehingga bisa dilacak dan semua bisa berjalan berdampingan,” tambahnya.
Hal senada dikatakan oleh Sugeng Wahyudi, selaku Sekretaris Jenderal Garda Organisasi Peternakan Ayam Nasional (GOPAN). Dirinya mengharapkan adanya instrumen atau alat apapun dari pemerintah untuk menjembatani perubahan Permentan ini. Sehingga para pelaku usaha yang ada di dalamnya dapat menjalankan kewajiban, sekaligus dapat mendapatkan haknya. Terlebih hal ini merujuk pada pengalokasian persentase peredaran DOC.
“Saya berpikir, semua stakeholders yang datang dalam sosialisasi ini dalam rangka menghormati Menteri Pertanian. Karena Permentan ini sudah ditandatangani, dan kemudian apabila ada masukan dari para pelaku ini yang tertinggal, kenapa tidak disalurkan melalui instrumen apapun itu. Dan menurut hemat saya, pasal tentang pengalokasian DOC ini kurang tepat. Ini nanti, belum sampai tahun 2027, para mandiri sudah habis. Berkaca pada Permentan no 32 tahun 2017, yang mensyaratkan 50 % : 50 % mandiri dan internal, pada nyatanya tidak dijalankan. Bahkan setelah berjalan sekitar 7 tahun Permentan tersebut, justru proporsi mandiri terus berkurang hingga sekitar 30%. Dan ini diulangi oleh Permentan 10 tahun 2024. Jadi mohon dibuatkan instrumen yang menjembatani ini, seperti pada sektor hilir yang pada tiap tahunnya targetnya jelas, dan hingga tahun 2027 sudah 100%. Kalau itu disandingkan, saya kira tidak akan ada lagi pertanyaan, karena memang logis,” tegasnya.
Masih dalam kesempatan yang sama, Achmad Dawami selaku Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) menyampaikan bahwa terlepas dari pro dan kontranya semua perubahan dalam Permentan ini tujuannya adalah perbaikan. Menurutnya semua orang harus paham bahwa tidak ada perubahan yang instan. Dimana perubahan ini akan dijalankan dengan baik dan tepat, namun karena kondisi saat ini telah melenceng terlalu jauh, maka ada proses untuk menyesuaikan.
“Kita ibaratkan perunggasan ini adalah kapal besar. Apabila kapal ini tiba-tiba dipaksa belok secara mendadak, maka yang ada semua akan jatuh. Maka dari itu perlu proses belok secara bertahap, berapa sudutnya dan seterusnya. Jadi saya minta semua stakeholders perunggasan bisa menikmati proses perjalanan ini. Saya kebetulan Ketua Umum GPPU, dan saya jamin tidak ada peternak yang tidak mendapatkan DOC. Tapi dengan catatan harus mengikuti prosedur yang ada, pesan sebelumnya, tidak dibrokerkan, atau mungkin pembayarannya juga benar. Nah, disini saya harapkan semua menikmati proses perubahan untuk perbaikan perunggasan kita. Marilah kita jalani dulu dengan baik, kalau semisal dalam perjalanannya ada yang tidak pas, kita semua bisa komunikasi,” tambahnya.
Sumber: alatternakayam.com