Berbagai teknologi nutrisi dan kesehatan unggas

Pakan menjadi perhatian utama dalam usaha budi daya ayam ras. Pasalnya, biaya pakan merupakan komponen terbesar dari total biaya produksi usaha budi daya ayam dengan menyumbang sekitar 50-70% dari total biaya produksi. Hal ini yang melandasi feedmill untuk mengembangkan konsep presisi nutrisi dalam produksi pakannya. Konsep ini berartikan penyesuaian kandungan gizi pakan dengan kebutuhan persis ayam di lapangan. Kandungan nutrisi yang terdapat pada pakan racikan feedmill tidaklah boleh kelebihan dan kekurangan. Begitu kata Prof. Budi Tangendjaja, Ph.D selaku praktisi nutrisi dan teknologi pakan saat berbincang dengan Poultry Indonesia secara daring, Senin (11/9). Sebagai jawaban dari tantangan tersebut, maka diperkenalkan mesin NIR (Near-Infrared Spectroscopy).

Menurutnya, saat ini sedang berkembang mesin NIR yang digunakan untuk menganalisis kandungan gizi pada bahan pakan dengan mekanisme kerja yang mengandalkan spektroskopi inframerah. Teknologi ini memanfaatkan cahaya inframerah yang memiliki panjang gelombang antara 780-2500 nanometer. Gelombang ini memiliki sifat ketika ditembakkan ke sampel, energinya akan berinteraksi dengan molekul, sehingga ada penyerapan energi yang kemudian menimbulkan konsentrasi. Jika terdapat konsentrasi, maka bisa mengetahui kandungan organik.

Sebenarnya, teknologi mesin NIR dalam pabrik pakan sudah diperkenalkan pada tahun 1990-an. Namun, penggunaan mesin NIR di Indonesia baru digalakkan beberapa tahun belakangan ini. Seiring berjalannya waktu, teknologi mesin NIR semakin berkembang hingga kecepatan analisa sampel yang dilakukannya bisa dalam hitungan detik. Variabel analisanya juga semakin berkembang, yang dahulu hanya membaca analisa proksimat, saat ini mesin NIR sudah mampu membaca semua komponen gizi pakan yang bentuknya paling sederhana seperti metabolizable energy, digestible acid, fatty acid, dan lainnya.

“Ketika bahan pakan datang ke feedmill, maka lakukan analisis dengan NIR. Ketika sudah mengetahui kandungan gizi lengkapnya, data tersebut bisa langsung ditransfer ke program formulasi pakan dengan komputer, sehingga kita bisa memformulasikan sesuai dengan keadaan yang nyata di lapangan. Yang sebelumnya formulasi menggunakan table database, saat ini menjadi real-time. Ketika kualitas bahan bakunya berubah, maka formulasi pun bisa berubah. Tetapi perlu diingat, NIR juga harus dikalibrasi dengan benar,” kata Budi.

Keunggulan lainnya, mesin NIR tidak membutuhkan bahan kimia untuk melakukan analisa sampel, berbeda ketika melakukan uji serupa di laboratorium yang masih membutuhkan bahan kimia seperti asam sulfat. Selain analisa sampel yang lebih cepat, bahan pakan yang telah diuji melalui mesin NIR bersifat non-destruktif. Artinya, sampel bahan pakan tersebut dapat dikembalikan ke proses produksi tanpa harus mengkhawatirkan cemaran oleh benda asing apapun.

“Pemakaian mesin NIR lebih murah dibandingkan uji manual di laboratorium yang harus memakai bahan kimia. Zaman dahulu, untuk melakukan analisa proksimat saja harus menunggu selama 2 minggu, sekarang sudah kita tinggalkan demikian. Karena pemakaian mesin NIR unggul lebih cepat, mudah, dan real-time,” tegasnya.

Di lain kesempatan, Prof. Dr. Ir. M. Halim Natsir, S.Pt., MP., IPM., ASEAN Eng, Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, ketika diwawancarai Poultry Indonesia via whatsapp (24/9) mengungkapkan tantangan paling besar untuk bisa bersaing dalam budi daya ayam ras adalah masalah efisiensi biaya produksi. Efisiensi biaya produksi tentunya tidak lepas dari penggunaan teknologi, baik teknologi pada bidang perbibitan, teknologi bidang pengendalian lingkungan, teknologi pakan dan teknologi pengendalian penyakit dan biosekuriti.

Sedang teknologi feed additive yang berkembang saat ini adalah : 1)Teknologi penggantian AGP dengan natural growth promoter dengan memenuhi 6 syarat yaitu meningkatkan penyerapan nutrisi, memiliki efek antimikroba, mengontrol microflora usus, meningkatkan imunitas, mengurangi metabolit penghambat pertumbuhan dan mengurangi infeksi subklinis. 2)Teknologi aditif pakan untuk menghasilkan precision biotics. 3)Manipulasi pakan dengan pemanfaatan aditif pakan untuk untuk menghasilkan produktivitas, kesehatan, imunitas dan untuk mencapai kualitas tertentu produk yang diinginkan. 4)Teknologi coating atau  nanoenkapsulasi.

Pria yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Peternakan UB ini menjelaskan teknologi coating adalah teknologi teknik pengemasan atau penyalutan bahan padat, cair, atau gas dalam ukuran kecil yang dapat melepaskan isinya pada kecepatan terkontrol dan kondisi spesifik untuk melindungi kandungan senyawa aktif yang ada di aditif pakan. Bahan yang dikapsulkan disebut bahan isian atau inti (core, internal phase, fill). Bahan penyalutnya disebut enkapsulan atau penyalut atau dinding. Coating atau enkapsulan mempunyai ketebalan dan jumlah lapisan yang bervariasi sekarang semua penelitian menggunakan teknologi nanoenkapsulasi yaitu berukuran nano.

“Teknologi coating mempunyai beberapa tujuan antara lain: pertama menstabilkan bahan isian, melindungi bahan sensitif, mengurangi penurunan nilai nutrisi. Kedua, mengendalikan pelepasan bahan isian (kecepatan dan kondisi pelepasan). Ketiga, memisahkan bahan reaktif atau bahan yang tidak dapat bercampur pada proses formulasi. Dengan begitu, feed additive dapat dirilis sesuai target perilisannya yaitu pada usus halus sebagai organ yang berfungsi untuk absorbsi nutrisi pakan,” terangnya.

Contoh lain pada teknologi aditif pakan untuk precision biotics. Efisiensi pemanfaatan nutrisi dari pakan juga dipengaruhi bagaimana kesehatan saluran pencernaan. Teknologi precision biotics menuju bagaimana jumlah dan keseimbangan mikroflora saluran pencernaan terjaga. Precision biotics adalah microbiome metabolic modulators yang memengaruhi fungsi metagenomik terpilih dari mikrobioma usus, sehingga memodulasi produksi metabolit mikroba yang ditargetkan secara khusus untuk meningkatkan hasil yang bermanfaat bagi ternak dan lingkungan.

Selain itu, Peter Yan selaku Corporate Communications & Marketing Distribution Director Medion mengatakan, kekhawatiran akan penggunaan antibiotik sebagai growth promoter yang dapat menimbulkan antimicrobial resistance (AMR) kepada ayam dan manusia sebagai konsumen produk akhir, mendorong industri perunggasan untuk menciptakan inovasi baru. Herbal menjadi salah satu inovasi sebagai natural growth promoter yang dapat diandalkan untuk mengganti peran AGP (antibiotic growth promoter).

“Penerapan teknologi sangat dibutuhkan menyesuaikan kepada perkembangan zaman yang menuntut berbagai tantangan. Produk herbal hadir untuk menjawab tantangan terhadap pelarangan penggunaan AGP yang keputusannya telah diberlakukan sejak tahun 2018. Berbagai bahan alami dapat kita manfaatkan secara baik seperti curcuma, ekstrak jahe, bawang putih, dan berbagai tanaman herbal lainnya. Bahan alami tersebut mempunyai peran masing-masing, ada yang berfungsi sebagai peningkat sistem imun, memulihkan energi selepas chick-in, dan mengurangi bau ammonia,” katanya saat diwawancarai Poultry Indonesia secara virtual, Selasa (19/9).

Kemudian terkait kesehatan unggas, Peter juga mengungkapkan teknologi yang baru-baru ini sedang berkembang di sektor vaksin, yaitu pemanfaatan senyawa chitosan sebagai adjuvant vaksin. Adjuvant adalah zat tambahan yang ditambahkan ke vaksin untuk meningkatkan keefektifan vaksin tersebut dengan memperkuat respons imun tubuh terhadap antigen yang terkandung dalam vaksin. Sebagai adjuvant vaksin, senyawa chitosan digunakan untuk meningkatkan respons imun terhadap antigen vaksin.

“Chitosan adalah satu pilihan adjuvant baru. Hal ini dikarenakan chitosan memiliki beberapa sifat ideal sebagai polimer pembawa seperti mudah terurai, tidak bersifat toksik, tidak menyebabkan reaksi penolakan, dan mudah larut air. Senyawa ini mampu memberikan kekebalan secara seluler dan humoral yang bekerja secara sinergis jika dikombinasikan dengan vaksin, sehingga memberikan kemampuan proteksi yang optimal dan tidak menimbulkan reaksi post injeksi. Mekanisme kerjanya yaitu membuat vaksin cepat dikenali sehingga terjadi pengaktifan sel T yang menghasilkan kekebalan seluler dan humoral pada ayam,” ujarnya.

Modernisasi perkandangan

Dalam manajemen pemeliharaan, adanya penerapan teknologi juga diharapkan bisa menekan biaya operasional dan menciptakan usaha budi daya ayam yang efisien. Setidaknya, langkah ini adalah satu-satunya cara yang dapat dilakukan peternak. Alih-alih mengendalikan sisi harga yang tergantung dari mekanisme pasar, peternak hanya bisa mengendalikan dari sisi produksi, dimana hal ini sangat bergantung pada penerapan teknologi.

Tak ketinggalan, teknologi pada sektor perkandangan pun terus berkembang layaknya pada sektor lain. Yang awalnya pemeliharaan ayam dilakukan dengan sistem kandang terbuka (open house), kini, peternak sudah mengenal sistem kandang tertutup (closed house). Bahkan, kandang closed house sudah menjadi sebuah standar dalam usaha budi daya ayam ras.  Hal ini seiring dengan meningkatnya permintaan akan daging dan telur ayam, serta untuk mengatasi tantangan cuaca ekstrem dan penyakit yang menjadi momok menakutkan bagi peternak.

Hal tersebut diamini oleh Gondo selaku Sales Manager PT Ansell Jaya Indonesia, yang mengatakan bahwa transisi dari kandang open house ke closed house telah terjadi pada 7 tahun terakhir. Bahkan, terdapat beberapa perusahaan mitra broiler yang mengharuskan peternak untuk menggunakan kandang closed house. Umumnya, kandang ini menganut sistem flooring, dimana ayam bersentuhan langsung dengan alas kandang, sehingga peternak memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan sekam dan ayam mempunyai risiko terkena penyakit lebih tinggi karena bersentuhan langsung dengan kotoran.

“Saat ini, ketersediaan sekam tidak mudah, dan menyebabkan harga sekam terus menaik. Di lapangan, saya menemukan harga sekam menyentuh Rp10.000,00 – Rp15.000,00 per sak. Oleh karenanya, terbitlah inovasi sistem broiler slat.  Dengan sistem ini, DOC umur 1 hari pun tidak membutuhkan sekam, karena ayam diletakkan di atas slat (papan berongga) yang memiliki jarak tinggi 30 cm dari lantai kandang. Ayam akan lebih sehat karena tidak bersentuhan dengan feses. Kemudian, sistem ini berkembang menjadi lebih modern hingga saat ini kita mengenal yang namanya sistem broiler cage,” ucapnya kepada Poultry Indonesia secara daring, Senin (18/9).

Sistem broiler cage closed house memiliki konsep pemeliharaan dimana ayam diletakkan pada sebuah kandang baterai layaknya kandang pada peternakan layer. Selain dapat mengurangi biaya produksi dari memangkas penggunaan sekam, Gondo juga meyakini bahwa sistem broiler cage dapat meningkatkan produktivitas ayam dan memudahkan peternak untuk membersihkan kandang dari feses ayam.

“Kapasitas populasi per m² bertambah 66,3% dari closed flooringClosed flooring memiliki kapasitas populasi di angka 30 kg/m², sedangkan closed broiler cage mampu di angka 50 kg/m². Kemudian, pertumbuhan ayam akan lebih seragam, karena satu cage yang berukuran 105 x 80 cm diisi dengan 21 ekor ayam, sehingga ayam tidak akan berebutan saat konsumsi pakan. Berbeda dengan sistem flooring, yang satu lantai pada kandangnya berpopulasi 20.000 ekor ayam, maka potensi ayam akan berebut pakan lebih tinggi. Selain itu, pembersihan pada kandang broiler cage juga lebih cepat, karena tidak perlu membersihkan dan memasukkan sekam ke dalam karung layaknya pada sistem flooring,” terangnya.

Seorang peternak broiler asal Sumatera Barat, Khaerul Ihsan menceritakan pengalamannya selama menerapkan sistem kandang broiler cage. Penekanan biaya produksi saat menggunakan broiler cage sangat dirasakan oleh Khaerul. Dirinya dapat menghemat biaya produksi yang disebabkan oleh sekam. Karena ia tidak perlu membeli sekam dan dapat memangkas tenaga kandang tambahan yang sebelumnya ditugaskan untuk pembalikan sekam. Alih-alih membuangnya secara cuma-cuma, bahkan feses ayam yang dihasilkan di peternakannya dapat dengan mudah dijual oleh Khaerul, tanpa memerlukan pengolahan lebih lanjut.

“Dengan luas kandang 12 x 120 m dan memiliki 2 lantai membutuhkan sekam sebanyak 3000 sak. Kalau harga sekam Rp10.000,00, maka biaya yang dikeluarkan per periode menjadi Rp30.000.000, dan hasil akhir akan dibuang karena tidak bisa dijadikan pupuk. Sedangkan apabila pakai broiler cage, saya bisa menjualkan feses ayam dengan rata-rata harga Rp1.000.000 – 1.500.000 per truk, dimana per periode  saya bisa membawa 23 truk. Berarti dari pendapatan penjualan feses minimal mendapatkan Rp23.000.000,00,” kata Khaerul kepada tim Poultry Indonesia di pameran Ildex 2023, Tangerang, Kamis (21/9).

Ketika ditanya mengenai performa, Khaerul mengungkapkan bahwa penggunaan broiler cage memiliki hasil produksi yang maksimal. “Penggunaan kandang broiler cage saya menyentuh IP di angka 430. Berbeda dengan pakai sistem flooring, periode awal-awal mungkin IP bisa tembus 420, tetapi tidak konsisten, untuk periode selanjutnya bisa 400 atau bahkan di bawah itu,” ungkapnya.

Di pameran yang sama, tim Poultry Indonesia kembali mewawancarai Gondo terkait perkembangan teknologi perkandangan di layer. Ia  mengatakan bahwa pada perkandangan layer sedang berkembang kandang closed house layer yang dibagi atas dua macam berdasarkan model bentuknya. Tipe A, kandang baterai bertingkat yang tingkatannya membentuk huruf A, sehingga feses ayam turun ke bawah kandang utama, dimana kandang utama berbentuk seperti panggung. Sedangkan tipe H merupakan kandang baterai yang bentuk tingkatannya lurus sejajar. Pada tipe H, setiap tingkat kandang baterai memiliki tempat penampung feses yang terletak di bawah, sehingga feses yang dikeluarkan dari ayam di posisi tingkat atas tidak akan mengenai ayam yang berada di tingkat bawahnya.

“Pembersihan kotoran lebih mudah dilakukan pada kandang tipe A karena tidak perlu mengeluarkan kotoran tiap hari. Dengan sistem kandang closed house yang secara konsep tertutup dan dilengkapi blower, maka feses akan cepat mengering, sehingga pembersihan feses pada masa afkir masih terbilang aman. Akan tetapi, jika berbicara kapasitas populasi, kandang tipe H lebih unggul. Karena tipe H tidak begitu makan tempat seperti kandang A. Pada luas lahan kandang 12 x 110 m, populasi layer pada tipe kandang H mampu mencapai 50.000 ekor. Sedangkan tipe kandang A hanya 35.000 ekor,” katanya, Kamis (21/9).

Secara mekanisme pemberian pakan, sistem kandang baterai modern ini sudah mengadopsi alat bantu yang dinamakan hopper feeder, sebuah mesin yang memiliki wadah penyimpanan pakan dan bergerak memberikan pakan secara otomatis. Bahkan, terdapat hopper feeder yang dapat diprogram untuk memberikan pakan pada waktu tertentu sesuai dengan jadwal pemberian pakan yang telah ditentukan peternak. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi dan memberikan konsistensi dalam pemberian pakan.

Tak hanya itu, Gondo menegaskan bahwa modernisasi kandang layer juga dirasakan saat pengumpulan telur yang dilakukan secara otomatis. “Telur yang dihasilkan oleh ayam langsung didistribusikan melalui mesin yang dinamakan egg belt, semacam alat yang menggerakkan telur secara perlahan. Penggunaan egg belt ini bertujuan untuk mengurangi risiko telur pecah. Selain itu, terdapat mesin egg conveyor yang menggerakkan telur sampai ke gudang penyimpanan telur. Dengan begitu, pekerja kandang tidak perlu repot melakukan collecting dan memudahkan untuk melakukan grading telur,” tegasnya.

Meningkatkan efisiensi dengan teknologi digital

Salah satu teknologi digital yang sedang kerap diperbincangkan di sektor manajemen pemeliharaan adalah Internet of Things (IoT). Penerapan IoT pada peternakan unggas secara luas dan signifikan telah berkembang pesat dalam satu dekade terakhir, yaitu sekitar 2010-an, namun perkembangannya baru dirasakan pada beberapa tahun terakhir ini. Menurut Pramudya Rizki Ruandhito selaku Chief Operating Officer & Co-Founder BroilerX, IoT adalah perangkat teknologi canggih yang diinstal di suatu kandang, dimana perangkat ini bisa mengendalikan secara otomatis apapun aspek yang ada di dalam kandang.

“IoT dalam peternakan ayam memanfaatkan penggunaan sensor-sensor yang terhubung ke internet untuk mengumpulkan informasi data terkait kondisi lingkungan, kesehatan, dan perilaku ayam. Aspek tersebut antara lain sirkulasi udara, kecepatan angin, temperatur, waterflow, kelembaban, kadar ammonia, bobot badan, dan lainnya,” katanya kepada Poultry Indonesia saat berbincang secara daring via Zoom, Kamis (14/9).

Teknologi ini membantu peternak guna pengelolaan yang lebih baik dan optimal dalam memelihara ayam. Dibantu dengan adanya informasi data yang lebih akurat dan real-time, membuat peternak dapat lebih cepat mengidentifikasi potensi masalah, sehingga mampu mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Perangkat IoT juga dinilai dapat menekan biaya produksi. Pada kandang closed house misalnya, tidak lepas dari biaya operasional seperti penggunaan gas dan listrik untuk menyalakan instrumen di dalam kandang. Dengan perangkat IoT, peternak dapat dengan mudah untuk memutuskan pilihan dalam pengoperasian instrumen kandang, sehingga penggunaan gas dan listrik menjadi lebih efisien.

“Kita mengetahui bahwa kebutuhan suhu tubuh ayam adalah 33॰C, ketika kita mengatur gas secara manual, kita tidak mengetahui sampai kapan gas tersebut menyentuh di angka 33॰C, jika ditinggal selama satu jam saja mungkin bisa naik menjadi 35॰C, sedangkan gas terus menyala. Disinilah peran IoT diandalkan, dengan informasi data yang disampaikan, kita bisa mengatur gas secara tepat, sehingga penggunaan gas tidak berlebihan. Pun pada kelistrikan, blower bisa dikendalikan dengan adanya informasi data yang diterima. Misalnya, blower diatur kecepatan angin sekian bisa langsung menyesuaikan dengan kebutuhan ayam karena ada perangkat yang bernama inverter, sehingga ketika kecepatan angin terlalu berlebih, blower akan otomatis mati,” jelasnya.