Bisnis ayam lokal di Indonesia sangat erat kaitannya dengan sejarah panjang dan tradisi masyarakat Indonesia. Mengingat kultur dari masyarakat di Indonesia yang sebagian besar adalah bertani dan beternak sejak zaman kerajaan di Indonesia, memelihara ayam lokal merupakan salah satu kegiatan yang cocok dengan kultur dan kebutuhan lokal masyarakat pribumi. Kegiatan budi daya ayam lokal juga pada zaman dahulu, juga sangat dekat dengan kebiasaan tradisi di sebagian masyarakat seperti untuk upacara adat dan ritual tertentu, sampai hewan peliharaan.

Jika ditarik mundur ke belakang, sejarah intensifikasi ayam lokal sangat erat kaitannya dengan bagaimana masyarakat memelihara ayam kampung. Menurut Prof. (R) Sofjan Iskandar peneliti dari balai Penelitian Ternak (Balitnak) pada tahun 2018, ayam lokal pada awalnya dikenal awalnya adalah ayam kampung, karena kebanyakan ayam ini diperoleh dari kampung-kampung di perdesaan. Masih menurut Prof. (R) Sofjan dalam tulisannya pada rubrik Opini di Majalah Poultry Indonesia edisi April 2018, Adanya program pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan pada awal tahun 1980-an dalam rangka pengembangan, ayam kampung diberi nama ayam buras, sebagai tandingan terhadap istilah ayam ras yang sudah memasyarakat.

Program pemerintah pada saat itu memanfaatkan ayam-ayam kampung yang diperoleh dari masyarakat pedesaan atau dari pasar. Program yang terkenal saat itu adalah INTAB singkatan dari intensifikasi ayam buras. Buras merupakan singkatan dari ayam bukan ras. Penamaan ayam ras dan buras bertahan hingga awal-awal tahun 2000-an dan mulai memudar setelah adanya istilah ayam lokal dari akademisi Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Ibu Prof. Dr. Ir. Supraptini Mansjoer, kemudian diturunkan kepada muridnya Dr. Ir Tike Sartika, sehingga pada tahun 2007 Dr. Tike Sartika dan Dr. Sofjan Iskandar memakai istilah ayam lokal dalam buku Mengenal Plasma Nutfah Ayam Indonesia dan Pemanfaatannya cetakan Balai Penelitian Ternak, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, yang juga sempat diperbanyak cetakannya oleh Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) pada tahun 2008.

Rupanya istilah ternak “lokal” yang juga berlaku untuk ayam lokal dipakai pula dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 Tahun 2011 tentang Sumberdaya Genetik Hewan dan Pembibitan Ternak pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 17, yang menyatakan bahwa “Ternak lokal adalah ternak persilangan atau introduksi dari luar negeri yang telah dikembang biakan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih, yang telah beradaptasi pada lingkungan dan/atau manajemen setempat”. Pada ayat sebelumnya, ayat 15, disebutkan pula bahwa “Ternak asli, merupakan ternak yang kerabat liarnya berasal dari Indonesia, dan proses domestikasinya terjadi di Indonesia”.

Dari pasal dengan kedua ayat di atas dapat ditafsirkan bahwa unggas lokal yang mana yam lokal termasuk di dalamnya terdiri dari klasifikasi Unggas lokal asli, yang kita kenal sebagai rumpun ayam Kampung, ayam Sentul, ayam Pelung, ayam Kedu Hitam, Kedu Putih, ayam Gaok, ayam Gaga, ayam Kokok Balenggek, ayam Ayunai dan rumpun lokal asli lainnya yang belum kita ketahui, serta Unggas lokal pendatang yaitu rumpun unggas introduksi dari luar negeri dan telah berkembang biak di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih. Untuk kelompok ini kita mengenal rumpun ayam Merawang, ayam Nunukan, ayam Arab, berbagai ayam hias, itik Alabio, itik Mojosari, itik Magelang, itik Tegal, puyuh Cortunix corturnix japonica dan rumpun lokal pendatang lainnya yang belum kita ketahui.

Sedangkan menurut Direktur Perbibitan dan Produksi (Dirbitpro) Kementan drh. Agung Suganda dalam keterangan tertulisnya pada Minggu, (23/7) menjelaskan bahwa dalam upaya melestarikan plasma nutfah yang ada di Indonesia, Kementan telah menetapkan 11 rumpun ayam lokal. “Kementerian Pertanian telah menetapkan sebanyak 106 rumpun/galur ternak Indonesia meliputi sapi, kerbau, kambing, domba, ayam, itik, kelinci, rusa, kuda, dan anjing. Semoga semua pihak dapat melestarikan rumpun galur ternak yang telah ditetapkan ini sebagai plasma nutfah asli Indonesia,” ucapnya.

Produksi dan Konsumsi

Untuk produksi ayam lokal atau ayam buras menurut Badan Pusat Statistik memang terlihat adanya pertumbuhan dari tahun ke tahun, namun justru menurun pada tahun 2021 walaupun memang penurunannya tidak signifikan. Pada tahun 2020, produksi ayam buras pedaging nasional berada di angka 270.208,8 Ton dan pada tahun 2021 ketika pandemi melanda, produksi ayam buras pedaging turun ke angka 269.799,3 Ton atau turun sekitar 1% dari produksi tahun sebelumnya. Lalu pada tahun 2022, produksi kembali naik sebesar 1,02% ke angka 275.415,6 Ton.

Sedangkan untuk konsumsinya, berdasarkan data dari Buku Statistik Peternakan tahun 2022, menjelaskan bahwa konsumsi daging ayam lokal naik dari tahun 2020 ke tahun 2021 dari 0,734 Kg/Kapita/tahun ke angka 0,846 Kg/Kapita/tahun. Sedangkan untuk tahun 2021 ke tahun 2022, angka konsumsi bisa dikatakan stagnan karena konsumsi per kapita dari tahun 2021 yaitu sebesar 0,846 Kg/kapita/tahun ke angka 0,828 Kg/kapita/tahun.

Gambaran Budi Daya Ayam Lokal

Usaha budi daya ayam lokal di masyarakat terdapat beberapa jenis dari skala kecil, menengah, hingga skala besar. Biasanya masyarakat yang baru memulai untuk usaha ayam lokal memelihara dalam skala puluhan hingga ratusan ekor per siklus panen yaitu sekitar 45 hingga 60 hari dengan bobot panen di kisaran 1 Kg. Berdasarkan penuturan dari salah satu contoh peternak ayam lokal dengan bibit sentul yaitu Herrawan selaku ketua Komunitas Peternak Ayam Kampung (Kompak) yang berlokasi di Majalengka, Ia menjelaskan bahwa saat ini Kompak beranggotakan sekitar 20 orang peternak dengan skala usaha 100 hingga 500 ekor per orang. “Dengan skala usaha tersebut biasanya peternak melakukan budi daya dengan cara yang beragam. Ada yang beternak dengan cara intensif menggunakan kandang sederhana, ada juga yang beternak dengan cara semi umbaran yaitu hanya diberi pembatas atau sekat tanpa ada atap penutup kandang,” jelas Herawan saat diiwawancara oleh tim Poultry Indonesia melalui sambungan telepon Rabu, (23/8).

Lalu untuk pemberian pakan kepada ternak, Ia membagi dua fase untuk jenis pakan yang diberikan kepada ayam. Untuk fase yang pertama atau growing biasanya para peternak memberikan pakan dari pabrikan selama 30 hari, setelah 30 hari ia mengaku memberi campuran bahan tertentu ke dalam pakan jadi dari pabrikan. “Jadi kalau untuk 30 hari pertama saya menggunakan pakan dari pabrikan lalu setelah lewat dari 30 hari, saya menambahkan sendiri bahan pakan tertentu ke dalam pakan jadi dari pabrikan, dengan rasio sebesar 70% konsentrat pakan pabrikan, 30% campuran pakan buatan sendiri.” ungkap Herrawan.

Untuk obat – obatan sendiri memang Herrawan mengaku bahwa bibit yang ia pelihara yaitu bibit ayam sentul merupakan salah satu jenis ayam yang cukup persisten atau cukup tahan dengan serangan penyakit. Namun untuk langkah pencegahan, ia tetap menggunakan beberapa obat – obatan dari pabrikan yang menyediakan obat – obatan untuk ayam. “Akan tetapi memang untuk musim – musim tertentu, walaupun jarang terjadi tetapi memang terkadang masih ditemukan adanya kasus penyakit viral seperti ND dan AI. Tetapi biasanya saya menggunakan bahan herbal ramuan sendiri untuk menangkis penyakit tersebut. Selain itu, kami juga tetap melakukan program vaksinasi untuk ND dan AI, tergantung kasus yang sedang merebak di lokasi peternakan saya”.

Pemeliharaan untuk ayam lokal biasanya memakan waktu 45-60 hari, dimulai dari seleksi DOC dengan bobot minimal 30 gram, dan dalam kurun waktu 1 bulan dalam pengalaman Herrawan selama beternak untuk ayam Sentul harus mencapai bobot minimal 350 gram. Sedangkan untuk bibit lain seperti KUB atau sensi mungkin bisa berbeda tergantung bagaimana proses pemeliharaan dari peternak. Ia juga menjelaskan untuk ayam sentul biasanya dipanen dalam waktu 10 minggu dengan bobot di kisaran 750 – 850 gram. “Biasanya pasar lokal di daerah saya menyukai bobot panen di kisaran 750 gram dengan harga ayam hidup sekitar Rp.40.000,00 ribu per kilogram, dan untuk harga karkasnya di kisaran Rp.60.000,00. Dan peran kami di dalam komunitas adalah mencari pasar langsung ke pasar becek sekaligus mendata populasi dari anggota, sehingga kami bisa menyingkronkan antara kebutuhan pasar langganan dari asosiasi Kompak dengan populasi dari anggota.” pungkas Herrawan.

Sedangkan Menurut Deddy Isco, Peternak ayam lokal dari Yogyakarta dengan populasi sekiatar 1.000 ekor per siklus menjelaskan hal yang senada dengan Herrawan. Hanya saja, karena skala usaha yang ia jalankan cukup besar berbeda dengan Herrawan, maka untuk urusan pakan ia memilih untuk menggunakan pakan dari pabrikan sepanjang periode pemeliharaan. “Kalau saya lebih suka untuk menggunakan pakan broiler dari pabrikan untuk mengejar kepraktisan. Selain itu, dengan menggunakan pakan jadi dari pabrikan itu FCR nya bisa terjaga, sedangkan jika saya salf mix sendiri memang lebih murah tapi, feed intakenya jadi tinggi. secara hitungan walaupun pakan pabrik lebih mahal tapi FCR lebih terjaga. Untuk periode pemeliharaan hingga panen itu saya bisa menghabiskan waktu sekitar 90 hari atau tiga bulan dengan bobot panen sekitar 1 Kg,” jelas Deddy melalui sambungan telepon Jumat, (25/08).

Bibit yang digunakan oleh Deddy saat ini adalah bibit ayam maron dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnakkeswan) Provinsi Jawa tengah. Sepanjang ia beternak, memang sudah silih berganti untuk urusan bibit ayam lokal. Akan tetapi saat ini ia memutuskan untuk beternak ayam lokal maron dari Disnakkeswan Jawa Timur karena memang ia membutuhkan suplai yang sesuai dengan kapasitas produksinya. “Saya menggunakan bibit ayam maron karena memang dari dinas sendiri mampu untuk memenuhi permintaan saya di kisaran 1.000 ekor per siklus produksi,” ungkap Deddy.

Provinsi202020212022
ACEH10436,558965,119144,41
SUMATERA UTARA16247,3816490,1416953,66
SUMATERA BARAT5169,775339,615488,57
RIAU2869,211481,141510,77
JAMBI5594,839662,278022,92
SUMATERA SELATAN7325,867493,827619,53
BENGKULU3766,9144655435,32
LAMPUNG14411,0914950,0915248,28
KEP. BANGKA BELITUNG398,14407,96437,77
KEP. RIAU1405,761329,881341,2
DKI JAKARTA1145,261036,261374,75
JAWA BARAT35336,3527957,5527856,71
JAWA TENGAH29874,525634,4725358,83
DI YOGYAKARTA5076,065029,315033,03
JAWA TIMUR45098,4440540,9941554,51
BANTEN4041,265101,234624,45
BALI4490,391379,551428,14
NUSA TENGGARA BARAT10428,6712465,4112677,33
NUSA TENGGARA TIMUR10489,1510378,710986,21
KALIMANTAN BARAT3412,083455,043483,86
KALIMANTAN TENGAH2058,722576,292640,67
KALIMANTAN SELATAN1944,2712876,7113705,25
KALIMANTAN TIMUR4903,125324,065483,78
KALIMANTAN UTARA1216,741257,241388,82
SULAWESI UTARA3026,352946,093008,59
SULAWESI TENGAH8124,318651,949847,52
SULAWESI SELATAN5624,275481,275590,9
SULAWESI TENGGARA11953,7412475,4713117,74
GORONTALO2549,832585,692608,17
SULAWESI BARAT5375,615018,155038,94
MALUKU308,29311,29311,83
MALUKU UTARA1132,2830,97837,65
PAPUA BARAT658,861195,521210
PAPUA4314,854705,055045,49
INDONESIA270208,8269799,3275415,6

Tabel 1. Produksi Ayam Buras Pedaging 2020 – 2022 (Ton) (Sumber : Badan Pusat Statistik)

Grafik 2. Konsumsi daging ayam lokal (Kg/kapita/tahun). (sumber : Buku Statistik Konsumsi Pangan Tahun 2022)

Sumber: poultryindonesia.com