alatternakayam – Penerapan higiene dan sanitasi pada pemotongan ayam masih memiliki kendalanya tersendiri. Mulai dari minimnya pengetahuan para pelaku usaha tradisional hingga kendala biaya sertifikasi bagi para pelaku usaha yang mulai berkembang. Namun, keamanan pangan dan membangun kepercayaan konsumen juga tidak dapat diabaikan.
Pentingnya pelatihan, edukasi, kolaborasi, sertifikasi, serta penggunaan teknologi dalam pemotongan ayam untuk optimalisasi higiene dan sanitasi tidak bisa dilebih-lebihkan. Bersama-sama, beberapa faktor ini memainkan peran penting dalam mengoptimalkan penerapan higiene dan sanitasi, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas daging ayam secara keseluruhan.
Oleh karena itu, beberapa dibutuhkan solusi dan jawaban pasti, baik dari para pemangku kepentingan, asosiasi terkait, dan para pelaku usaha itu sendiri untuk menangani tantangan yang ada agar operasi pemotongan unggas berjalan dengan sebagaimana mestinya.
Training & edukasi pelaku usaha pemotongan ayam
Kondisi pemotongan ayam tradisional tentu jauh dari prinsip higiene dan sanitasi. Edukasi yang baik dan benar kepada para pelaku usaha pemotongan ayam sangatlah dibutuhkan untuk menimbulkan kesadaran akan pentingnya higiene dan sanitasi. Kesadaran menjadi poros utama penerapan higiene dan sanitasi dalam pemotongan ayam, sehingga masing-masing pemerintah provinsi harus memberikan sosialisasi atau pembaharuan pengetahuan terkait penerapan higiene sanitasi kepada seluruh pekerja, baik yang tradisional maupun yang di RPHU.
Salah satu contoh nyata dari penerapan sosialisasi ini adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini Pusat Pelayanan Kesehatan Hewan dan Peternakan. drh. Renova Ida Siahaan, M.Si, selaku Kepala Pusat Pelayanan Kesehatan Hewan dan Peternakan, Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, mengatakan bahwa para pelaku usaha pemotongan ayam di RPHU sudah menyadari serta menerapkan prinsip higiene dan sanitasi guna menghasilkan daging ayam yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH). Kini, pemasaran mereka pun membaik berkat kualitas produk yang meningkat. Meski begitu, masih ada pemotong ayam tradisional yang memang bisa jadi belum mengerti mengenai hal ini.
“Banyak pemotong ayam tradisional yang berpikir masih bisa bertahan dengan caranya sendiri, sehingga agak sulit ketika diajak untuk menerapkan higiene dan sanitasi dalam pekerjaannya. Saat kami lakukan pembinaan kepada pelaku pemotong ayam di luar RPHU, biasanya mereka mengatakan bahwa pasar atau konsumen masih menerima hasil pemotongannya. Oleh karena itu, kami selalu melakukan pembinaan kepada produsen dan sosialisasi kepada konsumen, karena mereka juga harus memiliki pengetahuan mengenai daging ayam yang bagus dan bagaimana cara memilihnya,” ungkapnya pada tim Poultry Indonesia, melalui aplikasi zoom (12/6).
Program training dan edukasi ini dilakukan secara rutin untuk mengedukasi para pelaku usaha dan pekerja pemotongan ayam mengenai higiene dan sanitasi, penerapan, dan bahayanya jika tidak dilakukan. Renova mengatakan bahwa ini bukanlah hal yang mudah dan merupakan proses yang sangat panjang karena pelaku usaha tradisional sudah berpuluh-puluh tahun memotong ayamnya di pasar dan permukiman. Namun, pihaknya terus membina, membimbing, dan mendidik mereka agar dapat memproduksi daging ayam yang baik sesuai dengan pedoman penyelenggaran pemotongan ayam. Tak hanya pada para pemotong ayam tradisional, Renova juga mengatakan bahwa para pelaku usaha dan pekerja di RPHU juga mendapatkan edukasi yang sama.
“Dalam hal ini, petugas, pengelola, dan dokter hewan yang bekerja di RPHU juga telah terlebih dahulu dibekali dengan pengetahuan dan kompetensi terkait higiene dan sanitasi. Merekalah yang setiap hari membina, mengawasi, dan mengingatkan para pelaku usaha akan pentingnya higiene dan sanitasi dalam pemotongan ayam. Dalam waktu-waktu tertentu, Pusyankeswannak juga selalu melakukan program penyegaran terkait dengan higiene dan sanitasi dengan mengadakan bimbingan teknis maupun seminar atau webinar yang melibatkan pelaku usaha pemotongan ayam dengan narasumber ahli, baik dari Kementerian, Laboratorium, Balai Besar Veteriner, serta narasumber dari akademisi,” jelasnya.
Selain edukasi, Renova juga mengatakan bahwa dalam meningkatkan penerapan higiene dan sanitasi dalam proses pemotongan ayam membutuhkan kolaborasi berbagai pihak. di RPHU, salah satunya peningkatan kompetensi petugas (SDM) yang berkaitan dengan higiene dan sanitasi, seperti sertifikasi juru sembelih halal untuk para pekerja pemotongan ayam maupun sertifikasi halal dan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) untuk unit usaha pemotongan ayam. Menurutnya, penerapan higiene dan sanitasi harus dilakukan disetiap rantai produksi daging ayam. Mulai dari Pengelola, pelaku usaha, dan pekerja pemotong ayam atau juru sembelih.
“Seluruh unit usaha harus ikut menerapkan prinsip higiene dan sanitasi. Kami selalu lakukan segala cara untuk merubah perilaku tradisional agar bisa menghasilkan daging ayam ASUH. Jika sudah menerapkan prinsip tersebut, maka kita bisa meminta audit ke dinas terkait untuk melihat apakah benar RPHU ini sudah menerapkannya di tiap rantai produksi. Jika lulus, maka akan keluar NKV sebagai bukti bahwa seluruh pelaku usaha yang ada di RPHU ini sudah menerapkan higiene dan sanitasi,” terangnya.
Harapannya, dengan adanya kegiatan edukasi ini, para pelaku usaha pemotong ayam yang melakukan kegiatan pemotongan ayam di pasar becek dan permukiman dapat tergugah untuk berubah dan menerapkan prinsip higiene dan sanitasi, bahkan sebisa mungkin berhijrah memotong di RPHU, sehingga prosesnya dapat diawasi dan produk yang dihasilkan terjamin.
Kolaborasi dan sertifikasi untuk wujudkan produk yang ASUH
Keberhasilan produksi daging ayam yang berkualitas membutuhkan upaya kolektif dan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses penyembelihan. Kerjasama antar pemangku kepentingan, seperti dinas, unit dan pelaku usaha pemotongan ayam, serta asosiasi terkait sangat penting untuk memastikan daging ayam yang diproduksi memenuhi standar serta mempertahankan dan meningkatkan kualitas produk. Kolaborasi dan koordinasi tentu dapat menghilangkan hambatan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Petrus Hariyanto, selaku Ketua Dewan Pengurus Pusat Juru Sembelih Halal Indonesia (DPP Juleha Indonesia), yang mengatakan bahwa daging yang baik tak hanya harus bersih dan sehat, namun juga halal. Memproduksi daging ayam yang halal melibatkan kepatuhan terhadap pedoman dan prosedur khusus yang digariskan oleh syariat Islam, sehingga kolaborasi antara lembaga sertifikasi halal, asosiasi, dan cendekiawan Islam sangat penting untuk memastikan bahwa seluruh proses, mulai dari sumber hingga proses penyembelihannya, memenuhi persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan, dan syariat Islam.
“Berdasarkan pengamatan saya, masih banyak pemotong ayam yang tidak menerapkan prinsip higiene dan sanitasi, apalagi halal. Bahkan, di pasar, biasanya ayam dipotong tanpa membaca Bismillah dan matinya pun bukan karena disembelih, tetapi karena terkena air panas. Hal ini tentu membuat daging tersebut tidak halal karena ayam tidak mati akibat disembelih, melainkan akibat faktor lain. Pengetahuan akan hal ini masih menjadi tantangan di lapangan, sehingga bimbingan dan pelatihan sertifikasi Juleha sangat dibutuhkan,” jelasnya pada tim Poultry Indonesia, di Jakarta, Selasa (20/6).
Menurutnya, legalitas sebagai juru sembelih halal juga sangat diperlukan agar kehalalan daging dari hewan yang disembelih terjamin. Meski sadar akan pentingnya sertifikasi ini, nyatanya di lapangan masih banyak pelaku usaha tradisional yang belum memiliki sertifikasi Juleha karena terkendala biaya. Oleh karena itu, Asosiasi Juleha Indonesia memberikan pelatihan singkat secara rutin beberapa bulan sekali, tergantung dari banyaknya peminat.
“Sertifikasi Juleha pada pemotong ayam sangat penting karena berperan besar dalam menentukan halal atau tidaknya daging ayam yang disembelih. Juleha terbagi menjadi dua, yakni yang telah teruji oleh pemerintah dan tersertifikasi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi), serta yang mengikuti pelatihan singkat. Pada tahun 2022-2023, baru 200 orang Juleha yang telah tersertifikasi BNSP. Kami paham bahwa sertifikasi juru sembelih halal (Juleha) memerlukan biaya tinggi, sehingga anggota yang tersertifikasi BNSP inilah yang membantu dalam pelatihan singkat. Untuk para pemotong ayam tradisional, kami biasanya melakukan pelatihan massal selama 2 hingga 3 hari di tingkat kabupaten,” terangnya.
Asosiasi Juleha Indonesia memang terus mengadakan pelatihan singkat untuk memberikan edukasi yang tepat dalam proses pemotongan ayam, baik secara tradisional maupun di RPHU, guna menjamin kehalalan daging ayam. Namun, Petrus berharap pemerintah dapat mengalokasikan dana khusus untuk sertifikasi BNSP guna mewujudkan Wajib Halal pada 17 Oktober 2024 untuk produk makanan, minuman, hasil sembelihan dan jasa penyembelihan, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Dalam hal ini, program tersebut mewajibkan seluruh pemotong ayam bersertifikasi BNSP.
“Kolaborasi dapat memberikan transparansi dan akuntabilitas, baik bagi produsen maupun konsumen. Ketika badan sertifikasi halal, rumah pemotongan ayam, dan otoritas pengatur bergabung, maka akan terbangun sistem ketertelusuran yang kuat untuk melacak seluruh rantai pasokan. Transparansi ini memastikan bahwa daging ayam berlabel halal dapat ditelusuri kembali ke sumbernya, sehingga memberikan jaminan kepada konsumen akan jaminan mutu produk dan kehalalannya,” tuturnya.
Sertifikasi sangat penting dalam pemotongan unggas karena memastikan keamanan pangan, membangun kepercayaan konsumen, dan mendorong peningkatan berkelanjutan. Theresia Agustina, selaku Ketua Persekutuan dan Perkumpulan Asosiasi Rumah Potong Hewan Unggas Indonesia (ARPHUIN), mengatakan bahwa sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV) merupakan hal yang wajib dan penting ada pada tiap RPHU yang memproduksi daging ayam. Menurutnya, kepercayaan konsumen sangat penting dalam industri perunggasan dan sertifikasi memainkan peran penting dalam membangun kepercayaan ini di antara konsumen.
“Sertifikasi memberi jaminan kepada konsumen bahwa produk unggas yang mereka beli telah menjalani pemeriksaan ketat dan memenuhi standar keamanan pangan yang ketat. Label atau logo sertifikasi yang ditampilkan pada kemasan berfungsi sebagai simbol kredibilitas dan transparansi yang terlihat. Tujuannya untuk mengkomunikasikan kepada konsumen bahwa RPHU tersebut telah menerapkan praktik kebersihan dan sanitasi yang kuat, yang pada akhirnya memperkuat kepercayaan konsumen dan menumbuhkan loyalitas jangka panjang,” tuturnya pada tim Poultry Indonesia, di Jakarta, Rabu (21/6).
Selain itu, sertifikasi dalam pemotongan ayam juga mendorong peningkatan dan kontrol kualitas yang berkelanjutan. Namun, proses sertifikasi yang seringkali melibatkan audit, inspeksi, dan penilaian rutin untuk memastikan kepatuhan berkelanjutan terhadap standar, memakan banyak waktu dan membutuhkan banyak biaya dalam prosesnya. Oleh karena itu, Theresia menyampaikan bahwa ARPHUIN memberikan bantuan dalam bentuk jasa konsultasi dan pendampingan untuk sertifikasi.
“Pengajuan sertifikasi tentu memakan banyak waktu dan biaya, sehingga kami menyediakan jasa konsultasi dan pendampingan bagi anggota dan pemilik RPHU lainnya yang ingin memperoleh sertifikat NKV. Bantuan yang kami sediakan adalah dalam bentuk petunjuk teknis dan audit lapangan sebelum dilakukannya audit oleh pihak Kesmavet provinsi. Tujuannya adalah untuk mengetahui apa saja yang harus diperbaiki sebelum diaudit oleh pemerintah agar tidak mengulang proses pengajuan dan mengeluarkan biaya tambahan,” terangnya.
Sesi pelatihan reguler yang diperkuat dengan saluran komunikasi yang efektif dan umpan balik yang berkelanjutan dapat meningkatkan kesadaran pelaku usaha dan pekerja pemotongan ayam akan pentingnya higiene dan sanitasi. Selain itu, dengan sertifikasi sebagai landasan, industri perunggasan juga dapat berupaya untuk menyediakan produk perunggasan yang aman dan berkualitas tinggi yang memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen yang terus berkembang. Harapannya, dengan program edukasi yang telah dijalankan dan ditambah dengan adanya kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk mengenai sertifikasi NKV dan kehalalan, para pelaku usaha dapat menghasilkan daging ayam yang ASUH.
Teknologi untuk bantu penerapan higiene & sanitasi
Higiene dan sanitasi memang dipengaruhi oleh pasar atau kebutuhan dan permintaan konsumen. Seiring perkembangan zaman, konsumen sudah semakin pintar dan bijak dalam memilih produk yang akan mereka beli dan konsumsi, khususnya daging ayam sebagai sumber protein hewani. Berbicara mengenai pemotongan ayam, Rudy Hudin, selaku Company Representative Indonesia untuk Marel International, mengatakan bahwa sumber higienitas pangan ada tiga, yakni peralatan, tempat atau area pemotongan, dan orang. Menurutnya, ketiga aspek ini saling berhubungan.
“Dalam produksi daging ayam, higiene dan sanitasi berhubungan erat dengan keamanan pangan. Keamanan pangan merupakan hal utama yang harus diperhatikan. Mulai dari peralatan yang digunakan, area pemotongan, hingga individunya. Alat yang digunakan harus higienis, bahkan sejak penangkapan ayam agar tidak menimbulkan stres dan kontaminasi. Area pemotongan juga harus didesain khusus agar area kotor dan area bersih tidak tergabung. Kemudian, individunya. Para pekerja harus sehat. Jika sakit, maka harus diistirahatkan,” ujarnya pada saat diwawancarai tim Poultry Indonesia, di Jakarta, Selasa (20/6).
Menurutnya, otomatisasi proses produksi daging ayam di RPHU harus mulai digunakan jika kapasitas produksi sudah mencapai 4.000 ekor. Tujuannya adalah untuk mengurangi kontak antara ayam dan pekerja. Ia mengatakan bahwa sistem penanganan yang baik dengan menggunakan alat yang memenuhi standar terkait kebersihan dan daya tahan dapat memberikan kondisi yang efektif dan manusiawi untuk mengangkut ayam dari panen hingga ke pengolahan.
“Penangkapan ayam harus dilakukan secara benar. Misalnya, ayam ditangkap pada malam hari dengan posisi kaki yang dipegang. Jangan badan atau sayap karena dapat menyebabkan kontaminasi dari pemanen ayam ke ayam itu sendiri. Kemudian, ayam masuk ke mesin stunner untuk dipingsankan dengan posisi terbalik. Lalu, masuk ke tahap scalder atau perebusan untuk menghaluskan kulit dan bulu sebelum masuk ke plucker untuk dicabut bulunya. Jika air yang digunakan sudah keruh, maka harus segera ganti agar bakteri tidak berkumpul,” tuturnya.
Setelah melalui proses plucking, ayam kemudian dikeluarkan jeroannya, yang disebut dengan proses evisceration. Rudy mengatakan bahwa pada tahap inilah ditemukan jumlah bakteri terbanyak. Ia menekankan bahwa area pemingsanan, perebusan, pencabutan bulu, dan pengeluaran jeroan merupakan area kotor yang harus dipisah dengan area pemotongan daging karena jika terjadi kepecahan usus, maka bakteri Salmonella yang ada di dalamnya dapat menyebar ke seluruh titik bangunan. Bahkan, pekerja di area kotor dan bersih tidak boleh memasuki area satu sama lain.
“Setelah proses pengeluaran jeroan, ayam masuk ke tahap pendinginan atau pre-chilling untuk menurunkan suhu dari sekitar 30°C menjadi -5°C. Pada suhu ini, bakteri tidak aktif. Namun, jika naik 1 derajat, maka bakteri akan terduplikat sebanyak 2 kali lipat. Kalau angkanya sampai jutaan, maka umur produk daging ayam menjadi singkat. Contohnya, di pasar becek, ayam yang dijajakan biasanya memiliki bau. Bau tersebut disebabkan oleh bakteri yang tumbuh. Ketika dibawa oleh pembeli, kemudian dicuci kurang bersih dan digoreng tidak matang, maka timbul sakit,” jelasnya.
Sejalan dengan Rudy, M. Fajar Kamil, selaku Sales & Product Application Engineer PT Javatec Food Technology, juga mengatakan bahwa higiene dan sanitasi berkaitan erat dengan daging yang ASUH, terutama pada poin Aman, agar tubuh bisa merasakan manfaatnya. Ia mengatakan bahwa salah satu faktor yang paling penting dalam produksi daging ayam adalah menjaga kebersihan pada saat dan setelah proses pemotongan. Menurutnya, kesegaran daging ayam yang diproduksi sangat berkaitan dengan baik dan benarnya proses yang dilakukan, salah satunya proses pemingsanan, yang menjadi faktor dalam meningkatkan higienitas daging ayam.
“Salah satu teknologi yang dapat digunakan dalam proses ini adalah mesin pemingsan atau stunning machine with low voltage – high frequency. Dengan penggunaan teknologi ini, saat penirisan darah berlangsung, ayam tidak akan banyak bergerak, sehingga tidak menyebarkan darah atau kontaminan lainnya ke ayam lain atau lingkungan RPHU/RPA. Dengan penyembelihan yang baik, benar, dan halal, maka darah yang ditiriskan akan maksimal, sehingga tidak ada darah yang tersisa dalam tubuh dan hal ini membuat daging ayam yang diproduksi menjadi lebih higienis,” terangnya pada tim Poultry Indonesia, di Jakarta (12/6).
Hal selanjutnya yang mempengaruhi kesegaran adalah metode pembersihan karkas ayam sesaat setelah penyembelihan, pencabutan bulu, dan pengeluaran jeroan. Fajar mengatakan bahwa teknologi dibuat untuk memudahkan dan meningkatkan kualitas, sehingga pengetahuan dasar mengenai produk yang akan memanfaatkan teknologi tersebut sangatlah penting. Ia juga mengatakan bahwa proses pengeluaran jeroan masih banyak dilakukan secara manual, sehingga terkadang masih ada darah ataupun bagian dari jeroan yang tersisa dan menjadi kontaminan pada bagian luar dan dalam bagian karkas ayam. Hal ini tentu saja menjadikan produk daging ayam yang dihasilkan tidak segar, sehingga mengurangi nilainya.
“Proses pembersihan jeroan dapat dimaksimalkan dengan teknologi mesin pembersih air bertekanan untuk memastikan kondisi karkas ayam sudah bersih, baik dari luar maupun dalam, sebelum dilakukan pendinginan dan pengepakan untuk selanjutnya didistribusikan. Untuk proses pendinginan, pelaku usaha dapat menggunakan teknologi air-chilling system guna mengontrol aliran udara dingin dan menurunkan suhu produk ke tingkat yang diperlukan agar karkas yang dihasilkan tetap aman dari pertumbuhan bakteri,” ujarnya.
Fajar dan Rudy berpesan bahwa penerapan higiene dan sanitasi dalam produksi daging ayam merupakan poros utama keamanan pangan. Tanpa jaminan keamanan pangan melalui penerapan higiene dan sanitasi, industri apapun akan runtuh akibat menurunnya kepercayaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Peningkatan penerapan higiene dan sanitasi merupakan nilai plus yang akan dirasakan oleh pelaku usaha. Semakin baik manajemen higiene dan sanitasi yang dilakukan, maka semakin baik produk daging ayam yang dihasilkan dan secara tidak langsung menambah luas pangsa pasar yang dapat dipenuhi kebutuhannya.
Singkatnya, teknologi memainkan peran penting dalam pemotongan ayam dengan meningkatkan praktik higiene dan sanitasi, meningkatkan keamanan pangan, mengoptimalkan efisiensi operasional, dan menjaga kualitas produk. Harapannya, dengan adanya integrasi teknologi ke dalam proses pemotongan ayam, para pelaku usaha dapat menegakkan standar kebersihan yang ketat, meminimalkan risiko kontaminasi, dan menghasilkan daging ayam yang aman dan berkualitas tinggi.
Pemotongan Ayam yang Baik dan Benar:
Pemeriksaan Kesehatan dan Penampungan
Prosesnya pemotongan ayam diawali dengan pemeriksaan dokumen Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) dan Surat Jalan. Sebelum dipotong, ayam terlebih dahulu ditampung dan didiamkan selama kurang lebih 1 jam untuk menurunkan tingkat stresnya. Pada tahap ini, dilakukan pemeriksaan antemortem. Ciri dari ayam yang boleh untuk disembelih adalah sehat, aktif, bulu bersih, dan tidak terlihat lemas. Ketika hendak dipotong, pengambilan ayam juga harus memperhatikan prinsip Kesrawan atau kesejahteraan hewan. Penanganan ayam tidak boleh sembarangan hingga dilempar begitu saja. Untuk pengendalian penyakit, RPHU sesekali melakukan surveilans Avian Influenza (AI) dengan mengambil sampel swab untuk diuji. Tujuannya untuk memastikan bahwa ayam yang masuk ke RPHU bebas dari AI.
Kepastian Kehalalan
Penyembelihan atau pemotongan ayam harus dilakukan sesuai dengan aturan syariat Islam. Populasi muslim di Indonesia merupakan yang terbesar di Dunia. Setidaknya 87,18% dari jumlah penduduk Indonesia beragama Islam, sehingga kehalalan pemotongan ayam tersebut harus dipastikan. Tidak semua orang bisa menyembelih ayam dan masuk ke kategori halal. Oleh karena itu, untuk menghasilkan daging ayam yang halal, para pelaku usaha pemotongan ayam tradisional dan juru sembelih di RPHU harus beragama Islam, dewasa (baligh), dan berakal sehat. Hal ini akan mempengaruhi status kehalalan dari ayam yang disembelih.
Tata Cara Pemotongan yang Baik, Benar, dan Halal
- Untuk menghasilkan daging ayam yang halal, penyembelih wajib melafazkan “Bismillahi Allahu Akbar” atau “Bismillahirrahmanirahiim” saat menyembelih.
- Pemotongan harus dilakukan dalam satu kali sayatan tanpa mengangkat pisau dan memutus tiga titik sekaligus, yakni saluran pernapasan (trakea), saluran makan (esofagus), serta dua urat leher atau pembuluh darah di kiri dan kanan leher. Secata teknis, penyembelihan dilakukan dari leher bagian depan antara ruas tulang leher kedua dan ketiga, akan tetapi jangan sampai memutus tulang leher.
- Ayam lebih baik dipotong dalam posisi digantung dengan kepala di bagian bawah.
- Pisau yang digunakan harus dalam keadaan bersih dan setajam mungkin agar dapat dipastikan pastikan ayam mati akibat penyembelihan tersebut.
- Dalam proses pemotongan, penyembelih tidak diperbolehkan untuk berbicara, makan, minum, merokok, atau aktivitas lainnya yang dapat mengkontaminasi daging ayam. Para juru sembelih di RPHU tentu sudah menerapkan peraturan ini dengan tertib.
Sempurnakan Pengeluaran Darah
Setelah dipotong, darah ayam harus dibiarkan keluar dengan sempurna. Posisi ayam yang digantung akan memaksimalkan proses pengeluaran darah. Sempurnanya pengeluaran darah berkaitan erat dengan cara pemotongan dan kesegaran daging yang dihasilkan. Jika cara penyembelihan tidak memutus beberapa saluran ayam dan dilakukan dengan posisi selain digantung, maka pengeluaran darah tidak akan sempurna. Akibatnya, masih akan ada sisa darah atau bercak merah pada daging. Adanya sisa darah dapat menjadi sumber kontaminasi pada daging, sehingga juga memengaruhi kesegaran dan umur simpannya.
Penanganan Setelah Pemotongan
Setelah dipotong, ayam masuk ke pemeriksaan postmortem dan monitoring mikrobiologi. Pada tahap ini, dilakukan perendaman dengan air panas atau scalding, pencabutan bulu atau plucking, pengeluaran jeroan atau evisceration, dan pendinginan karkas atau chilling. Ayam yang akan masuk kedalam proses perendaman air panas harus dipastikan sudah mati akibat disembelih. Pengeluaran jeroan juga harus dilakukan dengan baik dan benar karena jeroan ayam merupakan sumber kontaminasi terbesar. Tahap ini masih banyak dilakukan secara tradisional dengan menggunakan tangan, akan tetapi ancaman kontaminasi bakteri jika saluran pencernaan ayam pecah sangatlah besar. Pada pemeriksaan postmortem, seluruh organ dalam ayam akan diperiksa kesehatannya. RPHU juga melakukan monitoring mikrobiologi secara berkala untuk melihat cemaran biologi dan mikroorganisme, seperti Salmonella. Monitoring mikrobiologi merupakan upaya penerapan higiene dan sanitasi dan Salmonella merupakan bakteri yang berhubungan langsung dengan sanitasi. Dokter hewan di RPHU harus memastikan bahwa daging yang dihasilkan tidak tercemar bakteri, terutama Salmonella yang merupakan penyebab penyakit bawaan makanan atau foodborne disease yang dapat menularkan sakit kepada manusia. Setelah itu, daging masuk ke proses pendinginan atau chilling dan pengepakan. Daging siap didistribusikan.
Sumber: poultryindonesia.com