Alatternakayam – Beberapa waktu kebelakang, kondisi harga pakan sedang ‘menggila’, sehingga mengakibatkan biaya produksi peternak membengkak. Sementara itu, permintaan dan penawaran terhadap komoditas produk unggas masih saja belum mencapai titik keseimbangan, yang membuat peternak kelimpungan. Hal ini mengemuka dalam diskusi bertajuk Indonesian Poultry Business Forum (IPBF) yang diadakan oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Rabu (8/6). Acara yang terselenggara secara daring melalui zoom meeting ini, mengangkat tema terkait “Mitigasi, Penguatan, dan Pemerataan Industri Perunggasan Nasional : Harga Pakan Menggila, dan Masih Perlukah SE Cutting”.

Melihat fluktuasi iklim perunggasan yang terjadi, maka diperlukan upaya mitigasi pada sektor ini. Hal ini untuk menyikapi kondisi harga pakan yang semakin melambung tinggi, serta terus bergulirnya kebijakan SE Cutting dalam rangka stabilisasi supply-demand produk perunggasan.

Tantangan di lapangan

Diner Saragih, Kasubdit Bahan Pakan, Direktorat Pakan menyampaikan bahwa dinamika kenaikan harga pakan yang terjadi saat ini, membuat kondisi perunggasan bergejolak. Menurutnya kenaikan harga bahan pakan terjadi secara global maupun lokal. “Hal ini terjadi karena mekanisme pasar. saat ini terjadi kenaikan harga bahan pakan di pasar dunia dan di pasar domestik seperti jagung, Soybean Meal (SBM), Corn Gluten Meal (CGM), dan Distiller Dried Grain with Soluble (DDGS),” jelasnya.

Dirinya menambahkan bahwa kenaikan harga bahan pakan tersebut diperparah dengan turut melonjaknya harga ocean flight, keterbatasan pasokan kontainer dan kenaikan harga minyak dunia. Hal ini tentu berakibat pada bertambahnya beban biaya logistic, sehingga harga pakan pun terpaksa harus naik. Kenaikan harga pakan tersebut pada akhirnya akan berimbas pada kenaikan harga produksi dan harga produk perunggasan.

Hal senada disampaikan oleh Destianto Budi Utomo selaku Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT). Dalam kesempatannya, Desi menjelaskan bahwa kenaikan harga pakan yang saat ini terjadi, tak lain disebabkan karena melonjaknya harga komoditas bahan pakan dunia.  Pasalnya, biaya produksi pakan 85% dipengaruhi oleh biaya bahan pakan.

Disisi lain, proporsi bahan pakan impor pada industri pakan di Indonesia sebesar 35% dari total komponen penyusun formulasi pakan. Namun jika dihitung secara nilai (rupiah), bahan pakan impor tersebut bisa mencapai 60 hingga 65% dari seluruh biaya penyusun pakan. “Lonjakan harga bahan pakan di pasar global tentunya berdampak pada harga pakan yang akhirnya berdampak pada kenaikan harga produksi. Sedangkan, untuk saat ini mayoritas telah terjadi kenaikan harga bahan pakan, khususnya yang diimpor. Hal ini mengikuti regulasi pasar global,” jelasnya.

Kenaikan harga pakan tersebut secara nyata dirasakan oleh para pelaku usaha budi daya. Herry Dermawan selaku Ketua Umum Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) menyampaikan bahwa dalam kondisi seperti saat ini, peternak tidak bisa berbuat banyak. Dimana dirinya dan para peternak lain dihadapkan dengan fluktuasi harga pakan yang cenderung mengalami kegilaan, yang disisi lain terus saja tidak mendapatkan kepastian harga pasar. “Saat ini, peternak hanya bisa berorientasi pada efektifitas produksi. Kami hanya dapat berupaya semaksimal mungkin menekan biaya produksi dengan harapan margin keuntungan dapat meningkat,” tambahnya.

Hal serupa dilontarkan oleh Musbar Mesdi, Presiden Peternak Layer Nasional (PLN). Menurutnya saat ini peternak ayam ras petelur mengalami situasi ganda, dimana harga telur cenderung mengalami kenaikan yang diikuti dengan kenaikan harga produksi. Hal ini membuat margin yang diperoleh pun kecil.

“Peternak masih dipusingkan dengan kondisi supply demand yang tidak kunjung stabil. Sedangkan tren biaya produksi terus mengalami kenaikan. Dan lagi, Permendag 7/2020 sudah tidak lagi relevan. Mengingat fluktuasi harga pakan yang terus mengalami lonjakan dan harga acuan dari Permendag tidak bisa lagi menjadi acuan,” paparnya. Untuk itu, Musbar menyarankan agar pemerintah dapat mengkaji ulang dan melakukan evaluasi secara berkala terhadap harga acuan yang ditetapkan. Hal ini juga bertujuan agar tidak berdampak pada tingkat inflasi.

Harapan serupa disampaikan oleh Singgih Januratmoko selaku Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (PINSAR) Indonesia. Dirinya menyampaikan harapannya kepada pemerintah untuk menormalisasi kembali harga yang sudah terlanjur melonjak dan menetapkan kebijakan yang mensejahterakan peternak rakyat. “Dalam waktu dekat, peternak akan mengadakan rembuk nasional untuk menyelaraskan apa yang dikehendaki oleh peternak dan memperbaiki persolan yang menimpa di tingkat peternak,” tambahnya.

Lebih lanjut, tak bisa dipungkiri bahwa ditengah kenaikan harga pakan yang sedang terjadi, perunggasan Indonesia masih berkutat pada permasalahan ketidakstabilan antara permintaan dan penawaran. Ahmad Dawami, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) menyampaikan bahwa permintaan masyarakat terhadap daging dan telur ayam ras sudah tercukupi dalam 2 tahun terakhir. Namun demikian, pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun 2020 membuat terjadinya oversupply pada sektor ini.

“Saya melihat, masih terjadi surplus produksi di tahun 2022. Namun, mengingat sudah mulai memasuki fase endemi dengan ditandai perlonggaran diberbagai bidang, maka diharapkan akan terjadi peningkatan pola konsumsi produk unggas di masyarakat. Yang akhirnya oversupply yang berlebih tidak kembali terjadi,” jelanya. Dawami menambahkan bahwa pelaksanaan SE Cutting memang berdampak terhadap harga DOC dan harga livebird. Dimana dengan dilaksanakan cutting, mampu menekan oversupply dan mengembalikan harga livebird sesuai dengan harga acuan. Namun, kebijakan ini tidak sehat apabila terus dilakukan.

Cecep M. Wahyudin SH., MH. selaku Ketua Bidang Hukum dan Humas Asosiasi Rumah Potong Hewan Unggas Nasional (ARPHUN) mencoba memaparkan persepsi lain terkait persoalan oversupply yang acap kali terjadi. Menurutnya, permasalahannya berada pada daya simpan karkas beku yang masih sangat minim, sehingga surplus yang terjadi berdampak pada supply di pasaran.

“RPUH mampu mengalokasikan 40% supply karkas ayam. Namun, masalahnya adalah ruang untuk penyimpanan karkas masih sangat terbatas. Hanya berkisar 150 ribu ton, sehingga tidak bisa menyimpan surplus karkas yang terjadi. Perlu dilakukan penambahan unit cool storage agar dapat menyimpan karkas beku, dan berperan sebagai buffer stock produk perunggasan,” paparnya.  Dirinya berharap bahwa pemerintah memberikan kebijakan dan sosialisasi untuk menerapkan rantai dingin, supaya bisnis RPHU menjadi lebih baik.

Upaya mitigasi

Melihat fluktuasi iklim perunggasan yang terjadi, maka diperlukan upaya mitigasi pada sektor ini.  Menurut KBBI, “mitigasi” berarti kegiatan untuk mengurangi dampak bencana. Dimana, jika dicerminkan pada masalah perunggasan, upaya ini dilakukan untuk mengurai permasalahan yang ada, sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar di kemudian hari. Iqbal Alim, Kepala Seksi Produksi Unggas, Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak  menyampaikan bahwa tantangan dalam industri perunggasan saat ini adalah harga ayam hidup (livebird) dan telur ayam ras yang fluktuatif dan cenderung berada di bawah harga pokok produksi (HPP). Hal ini disebabkan oleh belum terjadinya keseimbangan supplydemand. Disisi lain, peluang integrasi vertikal oleh perusahaan perunggasan semakin berkembang, namun tidak diimbangi oleh pengembangan hilirisasi dan peningkatan ekspor.

“Dukungan regulasi untuk sektor perunggasan yang sudah dibentuk, belum menunjukan hasil yang signifikan. Untuk itu perlu adanya evaluasi kebijakan dalam upaya mengatasi gejolak pada sektor perunggasan ini,” jelasnya. Selain itu, dirinya menyampaikan bahwa kebijakan yang perlu diterapkan dikategorikan pada kebijakan jangka pendek, menengah, dan panjang.

Kebijakan jangka pendek dan menengah pada sub sistem hulu meliputi dorongan Dirjen PKH pada setiap pembibit ayam ras untuk dapat mengatur dan menyesuaikan produksi day old chick (DOC) Final Stock (FS) berdasarkan demand dengan mengacu pada mekanisme pasar. Kemudian pada subsistem budi daya, pemerintah mendorong peternak untuk meningkatkan efisiensi dan menjaga persistensi produksi yang stabil dengan penerapan tata laksana pemeliharaan yang baik (good farming practices). Dan pada subsistem hilir meliputi peningkatan penyerapan dan pemotongan livebird di RPHU sekitar >30% dari produksi nasional, serta mendorong pengembangan rantai pasok dan sistem logistik oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) klaster pangan.

“Untuk kebijakan jangka panjang, kami berupaya meningkatan performa breeding farm dan produksi komersial, pengaturan distribusi DOC FS ayam ras secara proporsional dan pemerataan daerah produksi, memperbanyak kemitraan dengan pola sesuai permentan 13/2017, kewajiban penguasaan RPHU dan rantai dingin 30% sesuai produksi livebird, serta peningkatan produksi olahan dan ekspor,” tegasnya.

Hal ini ditambahkan oleh Musdhalifah Machmud, selaku Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribsinis, Kemenko Perekonomian. Dirinya menjelaskan bahwa pada tahun 2021 Ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan positif dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 3,69 % dan untuk Produk Domestik Bruto (PDB) sub sektor peternakan tumbuh sebesar 0,34 %.

“Produksi daging ayam ras pada 2022 diperkirakan mencapai 3,88 juta ton sementara total kebutuhan mencapai 3,19 juta ton dan mengalami surplus sebesar 689 ribu ton. Sedangkan komoditas telur ayam ras produksinya pada 2022 diperkirakan mencapai 5, 92 juta ton. Sementara total kebutuhan mencapai 5, 31 juta ton dan mengalami surplus sebesar 615 ribu ton,” jelasnya.

Musdalifah menambahkan, sebagai upaya penguatan dan pemerataan industri perunggasan nasional, sebaiknya dilakukan peningkatan produktivitas dan daya saing industri perunggasan, serta implementasi pengaturan tata niaga (rantai pasok) daging dan telur ayam ras secara proporsional. Selain itu, juga perlu adanya upaya stabilisasi harga daging dan telur ayam ras. Kemudian di sisi hulu stabilisasi harga pakan ternak dan harga bahan pakan ternak unggas juga perlu dilakukan.

“Untuk hilir, upaya peningkatan konsumsi daging dan telur ayam ras perlu terus dikampanyekan. Dan sebagai penyangga industri telur, maka pengembangan industri pengolahan telur perlu segera ditindaklanjuti. Disisi lain, penting juga adanya dorongan peningkatan ekspor untuk komoditas produk perunggasan,” paparnya.

Sementara itu, Kusuma Dewi, Ketua Tim Bidang Peternakan dan Perikanan, Direktorat Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, Kementerian Perdagangan (Kemendag RI) yang mewakili DIrektorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag RI menyampaikan bahwa Indonesia sudah mengalami surplus daging ayam ras selama beberapa tahun terakhir bahkan sebelum pandemi Covid-19. “Pandemi Covid-19 mengakibatkan terjadinya penurunan konsumsi masyarakat yang berdampak pada peningkatan oversupply sebesar 48% pada 2020 dan 36% pada 2021,” tambahnya.

Ia juga menjelaskan bahwa dalam rangka menjaga keseimbangan supplydemand, pada 2021 telah dilakukan kebijakan pengaturan impor grand parent stock (GPS). Selain itu, kebijakan cutting produksi pada Januari-Maret 200 yang setara 272 ekor DOC berdampak pada berkurangnya surplus pada tahun 2022 menjadi sebesar 786 juta kg daging ayam ras atau setara 713 juta ekor DOC. “Kebijakan cutting dinilai mampu menjaga keseimbangan supplydemand dan stabilitas harga ayam ras. Namun peternak mandiri akan kesulitan mendapat DOC ayam ras pedaging dengan kualitas yang baik dan jumlah yang memadai,” jelas Dewi.

Dewi melanjutkan rekomendasi kebijakan dari Kemendag RI untuk menjaga keseimbangan supplydemand dengan pengaturan importasi GPS sesuai kebutuhan serta kebijakan SE Cutting sebagai kontrol potensi produksi dan menjamin ketersediaan DOC yang berkualitas pada peternak mandiri. “Alokasi pasokan DOC bagi peternak mandiri ini bisa dilakukan oleh BUMN. Kemudian juga perlu adanya alternatif pasokan jagung untuk industri pakan ternak, sembari terus mengupayakan cadangan jagung pemerintah (CJP) yang dapat digunakan sebagai instrumen untuk stabilisasi harga. Mengingat produksi jagung tidak berlangsung sepanjang tahun,” tegasnya.

Sumber: poultryindonesia.com