Alatternakayam – Di tengah dunia perunggasan yang anomali, memaksa industri obat hewan untuk ikut terseret. Mulai dari tingginya biaya input usaha budi daya, hingga rendahnya daya beli produk unggas membuat pelaku usaha obat hewan memutar otak. Belum lagi jika kita berbicara mengenai pengembangan teknologi dan inovasi terkait produk alternatif AGP, yang masih digencarkan untuk menyukseskan kaidah pemerintah terkait pelarangan AGP. Berbagai peluang ditangkap oleh pelaku usaha obat hewan untuk dapat bertahan dan mengembangkan industri yang dianggap seksi ini.
Sudah sejatinya industri obat hewan berkembang seiring dengan meningkatnya populasi unggas yang ditopang oleh meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat.
Dalam menanggapi permasalahan pada ketidakjelasan pasar industri obat hewan, Peter Yan selaku Komisaris PT Medion Farma Jaya, mengatakan bahwa efisiensi bisnis merupakan langkah yang bijak. Langkah tersebut diambil agar arah dan tujuan bisnis akan menjadi lebih terstruktur, baik bagi karyawan maupun perusahaan. Upaya yang dilakukan oleh Medion untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan kolaborasi teknologi dan surveilans.
“Medion secara aktif berkolaborasi dengan akademisi, distributor, dan pelaku usaha lainnya dari berbagai negara. Dari sini, Medion telah merilis sebuah produk yang inovatif, terletak pada adjuvant yang digunakan. Adjuvant khusus pada produk Medion mampu meningkatkan respons kekebalan tubuh baik secara seluler maupun humoral, mudah terurai, lebih mudah diserap, dan tidak menyebabkan toksisitas di jaringan, sehingga vaksinasi lebih efektif dan aman,” ungkapnya ketika berbincang dengan Poultry Indonesia, secara daring melalui Zoom, Senin (9/1).
Selanjutnya, Peter menjelaskan mengenai surveilans atau kajian lapang. Tujuan dari kajian lapang adalah agar pemasaran dan penjualan produk yang dilakukan oleh perusahaan obat hewan tepat sasaran berdasarkan data yang ada. Surveilans dianalogikan seperti CCTV yang memantau kondisi lapangan secara real time, sehingga kebutuhan pelanggan dapat dipenuhi lebih cepat dan tepat.
“Program surveilans yang dilakukan oleh Medion diantaranya Avian Influenza Virus (AI) dan resistensi antibiotika. Medion mengomunikasikan hasil surveilans Avian Influenza Virus ke Forum Influenza Virus Monitoring (IVM) Online, sebuah jejaring yang dibangun oleh Ditjen Peternakan Dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Sedangkan program surveilans terkait resistensi antibiotika ditujukan untuk mendukung program One Health melalui pengendalian antimicrobial resistance (AMR) dan hasilnya pun juga dikomunikasikan ke Kementerian dan Lembaga terkait,” lanjutnya.
Masih berkaitan dengan strategi, drh. Muliati Sutandi selaku Vaccine Business Manager PT Romindo Primavetcom menuturkan bahwa perusahaan harus melakukan analisis lapangan agar perusahaan dapat melakukan personal selling. Mekanismenya adalah setelah melakukan seminar besar dan mendapatkan tanggapan dari pelanggan, perusahaan harus langsung bergerak melakukan personal selling di setiap area. Dalam hal ini, perusahaan harus menonjolkan keunggulan produk dan melakukan pelayanan ekstra kepada para peternak.
“Kita mengawal dan mengedukasi peternak bahwa harus investasi lebih untuk produk vaksin yang berkualitas. Karena ini sifatnya long investment yang akan menghasilkan produksi yang lebih optimal. Kita harus melakukan kawal ketat mulai dari aplikasinya sampai performans DOC di usia starter dan grower, begitu pun laying-nya. Kita harus melakukan pelayanan ekstra karena peternak zaman sekarang sangat aware terhadap performa ternaknya, sebab mereka harus efisiensi,” tutur Muliati ketika disambangi Poultry Indonesia di kantornya, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (11/1).
Kampanye konsumsi produk unggas
Untuk mendukung strategi yang disebutkan oleh beberapa narasumber sebelumnya, penggalakkan kampanye konsumsi produk unggas dapat dilakukan. Tak hanya dilakukan oleh stakeholders perunggasan, pengusaha obat hewan pun juga. Pasalnya, rendahnya konsumsi protein hewani masyarakat akan berimplikasi terhadap populasi ternak unggas, yang mana menjadi pasar terbesar industri obat hewan.
Mengutip data dari Organization of Economic Cooperation and Development (OECD), konsumsi daging unggas di Indonesia pada tahun 2021 hanya sebesar 8,1 kg/kapita. Sedang, data dari PKH Kementan pada tahun 2022, konsumsi daging unggas nasional sebesar 11,6 kg/kapita (prognosa). Angka tersebut masih jauh di bawah rata-rata konsumsi daging unggas dunia yang sebesar 14,9 kg/kapita.
Fakta pahit ini sudah seharusnya menjadi alasan untuk menggencarkan kampanye konsumsi produk unggas. Baik pemerintah, akademisi, asosiasi, dan pelaku usaha harus berkolaborasi untuk menyukseskan kampanye ini. Ketua Umum ASOHI, drh. Irawati Fari dalam keterangan tertulisnya, Jumat (13/1), mengatakan bahwa ASOHI mendukung program pemerintah untuk meningkatkan konsumsi protein hewani. Program tersebut dinaungi oleh Divisi Stunting Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yang ditunjuk langsung oleh Presiden RI, Joko Widodo.
Kolaborasi tersebut bertujuan untuk menekan prevalensi stunting dari 24% menuju 14%. Apabila kolaborasi ini dijalankan dengan baik oleh pemerintah dan swasta, maka otomatis daya beli produk unggas akan meningkat. Daya beli produk unggas yang meningkat akan disusul dengan populasi unggas yang meningkat pula, sehingga secara langsung berkontribusi terhadap naik turunnya industri obat hewan.
“Pemerintah mempunyai program meningkatkan konsumsi protein hewani untuk mencegah stunting dan runting untuk masyarakat Indonesia. Dengan program ini, ASOHI dapat berperan dalam membantu industri peternakan lebih menjaga performa ternak, baik dari ketahanan terhadap penyakit maupun efisiensi dan efektivitas produksi. Dengan fokus pada hal-hal tersebut, ASOHI secara tidak langsung juga berperan terhadap perkembangan industri obat hewan di Indonesia,” tulisnya.
Dalam kampanye konsumsi protein hewani, hal yang perlu diingat adalah kewajiban sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV) pada produk unggas. Kementerian Pertanian RI telah mengeluarkan sertifikasi NKV melalui Permentan No.11 Tahun 2020. Sertifikasi ini menjamin keamanan dan kualitas produk hasil ternak yang dihasilkan karena produk tersebut sudah melalui pengawasan lapang secara ketat dari dokter hewan terkait.
Selain memberikan rasa percaya akan keamanan pangan bagi masyarakat, sertifikasi NKV juga akan menguntungkan industri obat hewan. Ketika kesadaran peternak dan masyarakat akan sertifikasi NKV semakin tinggi, maka secara tidak langsung, jasa dokter hewan dan produk obat hewan juga akan ikut meningkat. Oleh karena itu, gerakan gemar makan daging ayam dan telur yang berkualitas harus terus ditingkatkan, baik oleh pemerintah melalui BKKBN, dokter hewan, dan industri obat hewan.
Herbal sebagai alternatif AGP
Sejak dulu, Indonesia sudah dikenal sebagai suatu daratan yang sangat subur. Letak geografis yang berada di wilayah iklim tropis dan terlintang garis khatulistiwa membuat Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah ruah, bahkan termasuk tiga besar dunia. Kekayaan alam yang terkandung dalam bumi pertiwi ini patut disyukuri dan dimanfaatkan dengan baik oleh kita sebagai bangsa Indonesia. Salah satu komoditas yang berpotensi untuk dikembangkan adalah tanaman herbal.
Tanaman herbal sudah seperti warisan nusantara, yang dapat tumbuh sangat baik di tanah subur ini. Secara turun-temurun, tanaman herbal sudah dimanfaatkan oleh nenek moyang kita sebagai pengobatan, yang biasa disebut dengan jamu atau empon-empon. Karena memiliki ketersediaan yang melimpah dan berkhasiat untuk mengobati beberapa jenis penyakit. Mengutip info dari Kebijakan Obat Tradisional (Kotranas), tercatat dari 40.000 spesies tanaman yang ada di dunia, 30.000 spesies diantaranya ada di Indonesia dengan 7.500 spesies diantaranya tergolong sebagai tanaman herbal.
Selain digunakan untuk kesehatan manusia, ternyata herbal juga dapat dimanfaatkan untuk kesehatan hewan. Senyawa aktif yang terkandung dalam tanaman herbal dikatakan mampu untuk mengatasi permasalahan pelarangan penggunaan AGP. Saat ini, industri obat hewan sedang aktif menggencarkan produksi herbal. Pengganti AGP dengan herbal pada dasarnya sangat potensial di Indonesia. Baik dari sisi kualitas produk yang dihasilkan semakin sehat juga produktivitas tetap bisa dipertahankan. Selain itu, yang paling penting adalah herbal dapat diproduksi dari bahan baku Indonesia, sehingga tidak memerlukan impor.
Ketika berbincang dengan Poultry Indonesia secara daring via Zoom, Senin (9/1), Direktur Marketing dan Distribution PT. Medion Farma Jaya, Hendra Purnama mengatakan, sudah banyak produk alternatif AGP yang beredar di pasaran, hanya tinggal disesuaikan saja pada kebutuhannya. Pada dasarnya, tujuan utama pemberian alternatif ini sama halnya dengan AGP, yaitu memelihara keseimbangan mikroflora usus dan mengoptimalkan proses pencernaan.
“Sebenarnya dari tahun 2013, Medion berpartisipasi mencegah resistensi antibiotika dengan menyediakan produk herbal inovatif dengan umbrella brand. Medion selalu berupaya untuk mendukung program pemerintah dalam pelarangan penggunaan AGP. Kini hampir 10 tahun berinovasi, Medion telah menyediakan lebih dari 15 produk herbal. Berbagai produk inovatif masih terus dikembangkan oleh tim Research, Development dan Innovation Medion untuk memenuhi kebutuhan dan komitmen terhadap kepuasan pelanggan,” papar pria yang akrab disapa Purnama tersebut.
Tak kalah, Nasiruddin Miftahul Firdaus selaku Senior Manager Projects Development PT. Ganeeta Formula Nusantara, saat berdialog daring bersama Poultry Indonesia melalui Zoom, Rabu (4/1), menerangkan bahwa penggunaan herbal memiliki manfaat yang baik untuk proses budi daya unggas. Berdasarkan jenisnya, herbal mempunyai 2 tipe yakni sebagai tindakan preventif dan fitofarmaka atau pengobatan. Secara fungsi, herbal juga berkhasiat sebagai imunomodulator, antibakterial, anti inflamasi, antioksidan, kemudian sebagai hepatoprotector. Meski begitu, pemakaian herbal harus dibarengi dengan upaya lain untuk menghasilkan performa yang setara dengan AGP.
“Efektivitas herbal saat ini sifatnya komplemen atau sinergi antara beberapa produk. Kalau murni herbal, saya rasa akan masih jauh dibandingkan dengan pemakaian AGP. Akan tetapi, kalau pemakaian kompleks, kita bisa menggunakan feed additive yang lain untuk meningkatkan produktivitas pada ternak tersebut. Kemudian, manajemen kandang yang baik seperti biosekuriti itu sangat dianjurkan, maka saya rasa penggunaan herbal akan jauh lebih baik,” terangnya.
Secara prinsip, Nasiruddin menyebut bahwa penggunaan herbal memiliki 4 pilar utama yang berdampak pada unggas. Keempat pilar tersebut antara lain saluran pernapasan, pencernaan, reproduksi, dan pembuluh darah. Dari keempat inilah baik broiler maupun layer mempunyai koridor pilarnya masing-masing. Ia optimis dengan pemberian herbal dapat menjawab tantangan peternak broiler dan layer di lapangan.
“Kalau berbicara broiler, Ganeeta mengambil 2 pilar yaitu pencernaan dan pembuluh darah. Pada pilar pembuluh darah, Ganeeta mengoptimalkan jumlah oksigen pada saluran pembuluh darah tersebut. Misal, kolesterol dan asam urat yang terdapat pada ayam tersebut bisa terkontrol dengan herbal. Kemudian pencernaan, Ganeeta memaksimalkan kapasitas serap pada usus halusnya. Karena pemberian herbal bisa memicu dan membantu penebalan dinding usus,” jelas Nasiruddin.
Berbeda dengan broiler, pilar pada layer mengarah ke pernapasan dan reproduksi. Senyawa antioksidan yang terkandung pada herbal mampu menjadi antitusif dan ekspektoran, yang menyebabkan saluran pernapasan lancar. Kesederhanaan saluran pernapasan ayam menjadi titik krusial pada kesehatan layer. Apabila mengalami gangguan saluran pernapasan, maka akan terjadi penurunan produksi pada layer, yang bersifat persisten.
“Kemudian, penggunaan herbal sangat baik untuk ayam petelur karena pemicu utamanya adalah bagaimana telur yang diproduksi itu bisa optimal. Selain itu, bagaimana caranya agar waktu terpenuhinya telur tidak terhambat dan pertumbuhan folikel bisa sehat. Sebab pada umumnya pertumbuhan folikel tidak seragam, seringkali ada yang besar dan ada juga yang kecil. Dengan penggunan herbal, sebisa mungkin pertumbuhan folikelnya seragam,” pungkas Nasiruddin.