Alatternakayam – Industri obat hewan akan selalu eksis dan bertumbuh selama ada hewan di muka bumi ini.  Bisa dikatakan, industri obat hewan memiliki relevansi yang kuat terhadap populasi ternak dan semakin bertambahnya para pecinta hewan kesayangan. Meski tidak sebesar industri perunggasan, akan tetapi jumlah pecinta hewan kesayangan selalu bertumbuh. Hal ini dapat dilihat dari menjamurnya pameran hewan kesayangan yang sering dijumpai di beberapa lokasi.

Secara kuantitatif, jumlah perusahaan obat hewan semakin bertumbuh. Disisi lain, sektor perunggasan masih menjadi primadona pasar obat hewan di tengah segala persoalan yang terjadi.

Disamping itu, tak dimungkiri bahwa industri peternakan terkhusus perunggasan menjadi pasar terbesar perusahaan obat hewan. Sebagai penyedia obat-obatan, vaksin, dan suplemen, perusahaan obat hewan memang mempunyai peran penting untuk menyukseskan usaha budi daya peternakan. Pasalnya, kesehatan merupakan bagian dari kesejahteraan hewan yang juga berimplikasi pada hasil produksi yang optimal. Hal ini berkaitan dengan konversi pakan, dimana konsumsi pakan pada hewan ternak yang sakit akan dikonversikan ke daya tahan tubuhnya terlebih dahulu, sehingga pertumbuhan bobot badannya menjadi terhambat.

Dengan demikian, perjalanan industri obat hewan selalu dikaitkan dengan perkembangan industri hewan kesayangan dan peternakan, khususnya perunggasan. Apabila nilai penjualan obat hewan terhadap salah satu sektor mengalami penurunan, maka sektor lainnya akan menunjang satu sama lain. Akan tetapi, dalam edisi ini penulis akan lebih membahas kepada sektor perunggasan sebagai pasar terbesar dari industri obat hewan nasional.

Situasi umum

Berdasarkan keterangan tertulis dari Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI), pertumbuhan jumlah perusahaan obat hewan selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Perusahaan obat hewan yang sudah terdaftar di Kementerian Pertanian antara lain produsen sebanyak 114 perusahaan, importir sebanyak 280 perusahaan, dan eksportir sebanyak 48 perusahaan. Kemudian untuk perusahaan distributor sekitar 400 perusahaan. Pertumbuhan tersebut tercatat dari tahun 2015 hingga 2022, yang mana jumlah perusahaan produsen mengalami kenaikan sebesar 48%. Hal serupa dengan perusahaan eksportir yang mengalami kenaikan sebesar 153%.

Masih dari ASOHI, di Indonesia pada sektor unggas sepanjang lima tahun terakhir, terdapat 5 besar penyakit yakni Newcastle Disease (ND), Infectious Bronchitis (IB), Inflammatory Bowel Disease (IBD), Inclusion Body Hepatitis (IBH) dan Avian Influenza (AI). Keberadaan penyakit ini tentunya membutuhkan bantuan obat hewan. Kemudian, pemulihannya membutuhkan pelengkap pakan yang juga diikuti dengan hadirnya feed additive dan feed supplement.

Sementara itu, Ayatullah Natsir selaku Poultry Business Unit Manager Ceva Animal Health Indonesia menuturkan bahwa kondisi penjualan obat hewan di tahun 2022 pada perunggasan tidak berbeda dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini berbanding terbalik dengan penjualan pada sektor ternak besar yang sempat mengalami lonjakan akibat adanya wabah PMK dan LSD.

“Kalau berbicara perunggasan, untuk emergency disease pada 2 atau 3 tahun silam itu tidak ada. Tetapi, kalau di ternak besar itu ada emergency diseasenya. Hal inilah yang membedakan situasi umum antara perunggasan dan ternak besar. Secara garis besar seperti itu, karena kita sebagai penyedia OVK, maka kita berhubungannya dengan penyakit,” ujar Ayat saat berdialog bersama Poultry Indonesia secara daring, Jumat (27/1).

Secara runtut, drh. Andi Wijanarko, selaku Wakil Ketua II Asohi, menyebut nilai penjualan industri obat hewan mengalami penurunan sejak tahun 2020-2021. Pandemi Covid-19 menjadi dalang utamanya. Dalam sekejap, pandemi Covid-19 meluluhlantakkan perekonomian global. Terhambatnya pendistribusian menyebabkan gangguan pada seluruh sektor industri, termasuk industri peternakan yang kemudian berimbas pada industri obat hewan.

“Disaat industri obat hewan sudah naik sebesar 5% pada tahun 2019-2020, kemudian di tahun 2020 mengalami penurunan yang cukup besar. Masalah pertama adalah pandemi Covid-19 dengan adanya pengurangan jumlah populasi ternak. Harga jual telur dan livebird (LB) juga begitu murah, sehingga para peternak banyak mengalami kebangkrutan. Saat itu populasi ternak menurun drastis. Di tahun 2021 dan 2022, industri obat hewan dalam masa pemulihan,” terang Andi ketika berbincang bersama tim redaksi Poultry Indonesia secara daring via Zoom, pada Kamis (5/1).

Tak disangka, adanya wabah PMK di tahun 2022 menjadi peluang yang menguntungkan bagi industri obat hewan. Kewaspadaan peternak akan PMK menyebabkan kebutuhan terhadap produk pengendalian PMK sangat laris. Disisi lain pada perunggasan di tahun 2020-2021, kata Andi, terjadi penurunan penjualan yang cukup besar, yaitu kurang lebih 30%. Kemudian pada tahun 2021-2022 tidak mengalami pertumbuhan penjualan atau stuck.

“Industri obat hewan cukup terbantu berkembang pada saat kasus PMK. Kebutuhan obat-obat injeksi seperti vitamin, antipiretik, anti-inflamasi, dan antibiotik menjadi terangkat sekali hingga terjadi kekosongan di beberapa daerah. Walaupun kita mengalami kesedihan karena adanya wabah PMK, tetapi tidak bisa dimungkiri, industri obat hewan sendiri mengalami lonjakan penjualan yang cukup besar akibat itu,” ungkapnya.

Senada dengan Andi, Direktur Marketing & Distribution PT Medion Farma Jaya, Benny Sukianto, mengatakan bahwa perunggasan mempunyai andil yang paling besar dibanding yang lainnya. Akan tetapi, industri perunggasan pada tahun 2022 mengalami gejolak yang cukup keras. Harga komoditas perunggasan yang tidak stabil berdampak langsung pada penjualan obat hewan. Meski mengalami penurunan pada sektor perunggasan, tetapi penjualan industri obat hewan ditunjang oleh sektor lainnya seperti ternak ruminansia.

“Pada tahun 2022, nilai penjualan obat hewan di Medion stagnan. Namun, jika berbicara sektor perunggasan itu memang sedang menurun karena dampak pandemi Covid-19. Jika melihat dari tahun 2021, dampaknya lebih menitikberatkan kepada peternakan broiler. Mulai akhir tahun 2021 mulai berdampak kepada layer, hingga tahun 2022. Dampak pada broiler terjadi ke arah penurunan sebesar 4-5%, sedangkan layer 15%. Intinya, tren pada sektor perunggasan menurun karena banyaknya dinamika yang terjadi, akan tetapi kita ditunjang oleh faktor lain diluar sektor perunggasan seperti sektor ternak besar dengan adanya wabah PMK,” beber Benny saat diwawancarai tim redaksi Poultry Indonesia secara daring lewat Zoom, Senin (9/1).

Bukan hal yang tidak mungkin apabila adanya wabah PMK mampu mendongkrak pasar obat hewan nasional. Pasalnya, saat wabah ini mencuat, pemerintah menggelontorkan dana yang sangat besar untuk program pengendalian PMK. Menurut Asohi, dari produk biologis atau vaksin, pemerintah menyerap 46 juta dosis vaksin dengan nilai sekitar Rp980 miliar. Kemudian, untuk produk obat-obatan dan desinfektan, pemerintah mengeluarkan dana sekitar Rp1,8 triliun.

Nilai penjualan produk obat hewan pada sektor perunggasan

Tak dapat dimungkiri, sektor perunggasan memang masih mendominasi pasar produk obat hewan. Berdasarkan data ASOHI (2022), dari nilai bisnis obat hewan pada tahun 2022 dengan total Rp9,09 triliun, penjualan produk farmasetik dan biologis sektor perunggasan menyumbangkan nilai sebesar Rp4,61 triliun, belum termasuk feed additive dan feed supplement. Angka ini kemudian diikuti oleh jumlah penjualan feed additive dan feed supplement seluruh ternak dengan total Rp4,33 triliun, serta produk farmasetik dan biologis pada sektor babi dan ternak ruminansia dengan total Rp144 miliar (di luar produk pengendalian PMK). Dengan demikian, tak ayal jika industri obat hewan mempunyai dependensi yang sangat besar terhadap industri perunggasan.

Tabel 1. Nilai penjualan produk farmasetik dan biologis pada unggas di tahun 2022

 Populasi

(000 ekor)

Biologis/vaksin

(Rp/ekor)

Farmasetik

(Rp/ekor)

Total nilai

(Rp 000)

Breeder23.00011.2405.455383.985.000
Broiler2.700.0004504202.349.000.000
Layer190.0005.1713.9751.737.740.000
Male90.0001.100480142.200.000
Total4.612.925.000

Sumber : ASOHI (2022)

Lebih rinci dari produk farmasetik dan biologis sektor perunggasan, penjualan untuk ternak broiler menjadi yang tertinggi. Dengan populasi broiler 2,7 miliar ekor, nilai penjualan terhadap produk farmasetik dan biologisnya menyumbang sebesar Rp2,34 triliun.  Kemudian diikuti oleh layer dengan populasi 190 juta ekor memberikan nilai penjualan produk farmasetik dan biologis sebesar Rp1,73 triliun.

Sementara itu, nilai penjualan feed additive dan feed supplement juga didominasi pada sektor perunggasan. Dari total penjualan feed additive dan feed supplement, sektor unggas menyumbang di angka Rp4,09 triliun. Secara persentase, sektor unggas menyokong dari total penjualan feed additive sebesar 94,3%, sedangkan feed supplement sebesar 94,5%. Dengan rincian, penjualan feed additive dan feed supplement pada broiler masing-masing sebesar Rp910 miliar dan Rp1,13 triliun. Selanjutnya, disusul oleh layer dengan penjualan feed addtive dan feed supplement masing-masing sebesar Rp665 miliar dan Rp931 miliar. Kemudian, untuk pembibit pada penjualan feed addtive dan feed supplement masing-masing sebesar Rp169 miliar dan Rp285 miliar.

Tabel 2. Nilai penjualan feed additive dan feed supplement di tahun 2022

 Penjualan Feed Supplement

(Rp 000)

Penjualan Feed Additive

(Rp 000)

Broiler1.134.000.000910.980.000
Layer931.000.000665.000.000
Breeder285.227.550169.638.300
Others136.920.000105.770.700
 2.487.147.5501.851.389.000
Total4.338.536.550

Sumber : Asohi

Hal tersebut diamini oleh drh. Agus Damar selaku Feed Additive Business Manager PT Romindo Primavetcom, saat ditemui Tim Redaksi Poultry Indonesia di Jakarta Selatan, Rabu (11/1). Ia menyebut bahwa sektor perunggasan masih mengendalikan pasar pada industri obat hewan. Hal tersebut karena sektor unggas memiliki populasi ternak terbanyak dibandingkan dengan ternak lainnya.

“Di Romindo sendiri, sektor unggas menyumbang nilai penjualan sekitar 70% dari total keseluruhan penjualan sektor lainnya. Nilai penjualan tersebut termasuk dari produk farmasetik, biologis, feed additive dan feed supplement,” sebut Agus.

Sumber: poultryindonesia.com