Alatternakayam – Agar hasil kerja suatu disinfektan optimal, maka ada beberapa faktor yang memengaruhi efektivitas suatu disinfektan di lapangan yang harus diperhatikan. Pertama, sifat kimiawi dan formulasinya. Sebagai contoh, kelompok amonium kuarterner mempunyai daya bunuh yang rendah, akan tapi mempunyai daya penetrasi yang tinggi ke dalam sel mikroba, sedangkan kelompok aldehida sebaliknya. Penambahan senyawa EDTA sebagai antikoagulan dalam amonium kuarterner akan meningkatkan daya bunuhnya terhadap mikroba patogen.
Tampaknya, mirip dengan penggunaan preparat antibiotika, penggunaan disinfektan pun harus mengenal sasaran yang akan dituju. Dengan demikian, efektivitas disinfektan tersebut akan optimal, sehingga kocek peternak tidak dibuat bocor olehnya.
Hal selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah dosis penggunaan. Pada penggunaan disinfektan, dosis penggunaan yang lebih tinggi belum tentu memberikan hasil yang optimal. Pada dosis yang tinggi, disinfektan yang bersifat menurunkan tegangan permukaan (surfaktan) justru akan mengalami kesulitan untuk melakukan penetrasi ke dalam sel mikroba yang sensitif, misalnya kelompok alkohol.
Ketiga, waktu kontak. Dibandingkan dengan kelompok fenol, kelompok amonium kuarterner dan halogen mempunyai waktu kontak yang relatif lebih singkat. Oleh sebab itu, kedua kelompok yang terakhir ini mempunyai daya bunuh yang cepat. Selain itu, keberadaan bahan organic juga perlu diperhatikan. Umumnya, keberadaan bahan organik dapat menurunkan potensi suatu disinfektan. Akibatnya, waktu kontak yang dibutuhkan akan lebih lama dan atau dosis yang digunakan akan lebih besar. Miquel Ruano (2001) telah membuktikan bahwa keberadaan bahan organik akan membuat virus ILT atau kuman Pseudomonas aeruginosa sangat resisten terhadap hampir semua disinfektan.
Suhu juga menjadi faktor penting dalam memengaruhi efektivitas disinfektan. Kelompok halogen, seperti bromida dan iodide, akan cepat menguap dan efektivitasnya akan menurun dalam suhu yang tinggi. Oleh sebab itu, kelompok halogen ini tidak mempunyai efek residual. Selanjutnya, derajat keasaman pelarut. Disinfektan yang bersifat alkalis seperti detergen dan soda api akan mengalami penurunan potensi pada pH yang air yang asam. Terakhir, kesadahan pelarut. Dalam air yang sadah, amonium kuarterner akan mengalami penurunan potensi, sedangkan kelompok asam kresilat dan senyawa klorin tidak.
Bagi kuman, komponen membran luar dari dinding sel merupakan komponen yang paling mudah dirusak atau dihancurkan oleh disinfektan. Komponen membran luar ini sangat kaya dengan senyawa fosfolipid (PPL) dan lipopolisakarida (LPS). Jika suatu preparat disinfektan mampu melarutkan komponen lipid dari PPL atau LPS, misalnya kelompok alkohol, fenol, atau detergen, maka keutuhan membran luar tersebut akan terganggu dan kebocoran sel akan terjadi.
Selain itu, beberapa disinfektan, seperti kelompok amonium kuarterner, halogen, dan aldehida mampu men-denaturasi atau merusak komponen protein dari membrane atau dinding sel dan komponen protein sel lainnya pada kuman. Kelompok halogen juga mempunyai kemampuan untuk mengganggu transpor elektron proses respirasi yang terjadi dalam mitokondria sel kuman, sedangkan kelompok fenol mampu menginaktivasi enzim yang berperanan dalam proses respirasi tersebut.
Bagi virus, keberadaan komponen lipid pada lapisan kapsid akan meningkatkan kepekaannya terhadap hampir semua disinfektan pelarut lemak, misalnya amonium kuarterner, fenol, alkohol, dan formalin. Virus-virus, seperti Marek, Infectious Laryngotracheitis (ILT-V), Newcastle Disease (NDV), Pox, Egg Drop Syndrome (EDS), dan Avian Influenza (AI) merupakan contoh virus yang mempunyai komponen lipid yang tinggi pada kapsidnya. Sedangkan virus Infectious Bursal Disease (IBD), Infectious Bronchitis (IB), Reovirus, dan Avian Encephalomyelitis (AEV) yang tidak mengandung lipid pada komponen kapsidnya akan lebih peka terhadap kelompok aldehida, halogen, dan senyawa asam atau basa kuat.
Pencegahan dan kontrol penyakit infeksius dalam lingkungan peternakan ayam modern memang membutuhkan berbagai pendekatan, termasuk memilih jenis dan aplikasi disinfektan yang digunakan, agar kontaminasi dan siklus hidup mikroba patogen tidak berlarut-larut berada dalam lingkungan farm tersebut (Perry dan Grace, 2009; Robertson, 2019).
Tampaknya, mirip dengan penggunaan preparat antibiotika, penggunaan disinfektan pun harus mengenal sasaran yang akan dituju. Dengan demikian, efektivitas disinfektan tersebut akan optimal, sehingga kocek peternak tidak dibuat bocor olehnya.
Sumber: poultryindonesia.com