Alatternakayam – Parasit dapat disebut tantangan pada peternakan unggas yang sudah jelas langkah penaganannya. Namun, kondisi kandang di lapangan yang belum sesuai standar terus memberikan kesempatan bagi parasit untuk melanjutkan siklus hidupnya. Solusi yang aplikatif sangat dibutuhkan untuk menekan populasi parasit dan vektornya guna produktivitas serta keuntungan yang melambung tinggi.

Parasit merupakan permasalahan pada peternakan unggas yang sudah jelas langkah penaganannya. Namun, solusi aplikatif sangat dibutuhkan untuk menekan populasi parasit dan vektornya guna produktivitas serta keuntungan yang melambung tinggi.

Istirahat kandang dan penanganan parasit

Menanggapi tantangan parasit, Tony Unandar, selaku Private Poultry Consultant mengatakan ektoparasit, seperti lalat, kutu, tungau, hingga kumbang frengki berhubungan erat kebersihan kandang. Semakin modern peternakan tersebut, maka penerapan biosekuritinya semakin baik dan populasi ektoparasit di sekitarnya semakin minim. Tony menekankan jika masih ada ektoparasit, maka masalah ada pada kebersihan kandang, proses istirahat kandang yang tidak maksimal, dan biosekuriti yang belum diterapkan dengan tepat.

“Parasit, seperti cacing, membutuhkan waktu dan tempat untuk berkembang biak di luar tubuh ayam. Kalau tempat dan kondisinya tidak ideal, maka tidak akan terjadi. Sebagai contoh, populasi cacing pita banyak ditemukan pada peternakan dengan yang tidak menerapkan biosekuriti yang mana ditemukan banyak lalat. Cacing pita juga membutuhkan lalat sebagai vektor mekanis untuk meneruskan siklus hidupnya,” jelasnya pada tim Poultry Indonesia, Selasa (14/2).

Ia menekankan bahwa istirahat kandang merupakan hal yang penting. Menurutnya, agen parasit dan patogen tidak akan bisa hidup tanpa ayam sebagai hospesnya, terlebih dalam waktu lama. Beberapa patogen yang dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama antara lain virus penyebab Marek’s Disease, telur cacing, dan spora jamur. Disinilah peran istirahat kandang diandalkan untuk mengurangi keganasan dan mengurangi jumlah parasit pada kandang.

“Kalau kita kosongkan kandang dari induk semang, maka patogen yang ada pada kandang akan melemah dan akhirnya mati. Inilah makna dari istirahat kandang. Ketika parasit melemah, maka keganasannya berkurang dan ketika dibiarkan, maka parasit tersebut akan mati dan berkurang jumlahnya. Oleh karena itu, istirahat kandang itu menjadi hal penting dalam mengurangi prevalensi kasus dan keganasannya,” terangnya.

Disisi lain Tony menekankan pentingnya kontrol vektor untuk menekan populasi parasit cacing. Lalat sebagai vektor cacing pada ayam, membutuhkan makanan untuk keberlangsungan hidup, air untuk kelembapan, dan oksigen. Beberapa unsur ini dapat ditemukan pada kandang dengan tumpukan feses yang lembap dan basah, sehingga siklus hidup lalat terus berputar. Untuk mengatasi hal ini, Tony memiliki satu trik yang telah ia berhasil aplikasikan pada layer farm di Medan dan Blitar. Trik ini diakuinya dapat mengurangi penggunaan insektisida.

“Salah satu cara yang saya mulai lakukan dari tahun 2012 untuk menekan populasi lalat adalah menggunakan predator alaminya, yaitu larva Black Solider Fly. Jadi, caranya adalah dengan menabur maggot dari BSF ke kolong kandang. Maggot BSF akan memakan larva lalat yang ada pada tumpukkan feses. Saya berhasil melakukannya di layer farm Medan dan Blitar. Peternakan-peternakan tersebut tidak ada lalat sama sekali dan minim amonia,” jelasnya.

Lebih lanjut, Tony mengatakan bahwa dalam membiakkan lalat penetral alami untuk insekta di lingkungan kandang ini membutuhkan perlakuan khusus. Namun, caranya sangatlah mudah. Untuk penggunaan pribadi dan skala kecil hingga menengah, peternak hanya membutuhkan beberapa baskom dengan alas gabus karton serta ditutupi kelambu agar lalat yang tumbuh tidak keluar. Selain itu, sampah organik dan pakan ayam juga dapat digunakan sebagai pakan maggot.

Pentingnya mengetahui habitat vektor penyebar endoparasit untuk mempermudah menekan populasinya. Vektor cacing pita, seperti lalat dan siput, harus diberantas dari lingkungan kandang dan ini dapat dilakukan terutama pada saat kosong kandang. Dalam kasus leucocytozoon, sumber air yang menggenang harus ditiadakan karena dapat menjadi tempat nyamuk untuk berkembang biak. Jika tidak ada genangan, maka nyamuk tak bisa berkembang biak dan semakin lama kondisi ini membunuh nyamuk.

Melihat kasus koksidiosis yang selalu ada dan menjadi tantangan bagi peternak, Tony optimis antikoksidia yang aman dengan fungsi ganda, yaitu membunuh bibit-bibit koksidia dan juga menstimulasi sistem imun, dapat digunakan di Indonesia. Ia mengatakan bahwa saat ini, sebenarnya sudah ditemukan antikoksidia serupa, berupa zat artemisinin yang terdapat pada beberapa tanaman dalam keluarga Asteracea, seperti kenikir. Zat ini berfungsi membunuh bibit koksi tak hanya di dalam rongga usus, akan tetapi juga di dalam sel epitel, sehingga membunuh bentukan antara ookista dan bangkai ookista tersebut akan menstimulasi sistem imun.

“Saat ini, sudah ditemukan antikoksidia dalam bentuk herbal, yakni zat artemisinin dari dari tanaman Artemisia annua yang digunakan sebagai antimalaria pada manusia dan sudah diakui oleh FAO. Semenjak tahun 2015, tanaman ini banyak digunakan untuk penelitian koksidia. Arteminisisn bekerja pada membran sel, dinding sel sporozoit, dan mitokondrianya, sehingga lebih efektif dalam membunuh bibit koksidia,” jelasnya.

Tony mengatakan mekanisme kerja zat artemisinin belum ditemukan pada antikoksi yang saat ini beredar. Selain artemisinin, gallic acid atau asam galat yang dapat ditemukan pada daun ek dan anggur juga dapat digunakan sebagai antikoksidia yang bekerja pada tatanan membran sel. Namun, saat ini masih belum dikembangkan di Indonesia. Tony melihat ini sebagai potensi kedepannya.

“Produknya saat ini belum masuk Indonesia. Kemungkinan karena di Indonesia ada keharusan mengisolasi bahan aktif dan itu agak sulit dilakukan dengan bahan herbal. Entah mengapa belum ada yang melegalisasi, akan tetapi ini berpotensi menjadi pengganti antikoksidia yang aman karena berbahan dasar herbal. Selain itu, artemisinin juga dapat mengatasi masalah resistensi yang selama ini menjadi tantangan pada antikoksidia dan juga aman untuk manusia,” harapnya.

Inovasi tekan kasus parasit

Sementara itu, drh. Gowinda Sibit, Direktur Utama PT Tekad Mandiri Citra, meyakini bahwa kasus cacingan atau helminthiasis sangat sulit untuk diberantas. Menurutnya, peternak terkadang berpikir bahwa ayam tersebut masih laku dijual atau masih tetap bertelur, sehingga kasus-kasus cacingan sering diabaikan. Akan tetapi, sikap abai ini justru menghilangkan kesempatan untuk mendapat untung yang lebih besar.

“Menurut saya, ini disebabkan oleh kasus cacingan yang tidak memiliki ancaman kematian. Karena tidak ada ancaman tersebut, maka seolah-olah diabaikan. Kasus cacingan ini hubungannya hanya dengan average daily growth (ADG) pada broiler dan penurunan produksi telur pada layer. Kenapa diabaikan? Karena ayam-ayam tersebut masih bisa dijual atau masih tetap bertelur. Namun, yang disayangkan adalah mereka melepas kesempatan tambahan keuntungan,” jelasnya pada tim Poultry Indonesia di kantor pusat PT Tekad Mandiri Citra, Senin (6/2).

Melihat kasus cacingan yang terus menjadi langganan di peternakan Indonesia, beberapa terobosan diciptakan untuk memberikan penanganan terbaik. Mulai dari obat cacing yang dicampur pada pakan dan air minum, seperti kelompok Benzimidazole yang sangat ampuh untuk mengatasi infestasi cacing pada ternak dari stadium larva hingga dewasa, hingga sediaan berbentuk pasta untuk memudahkan pemberian pada ternaknya.

“Penyakit akibat cacingan ini memang betul laten dan kami melihat parasit ini ancaman yang tidak akan ada habisnya, sehingga kami mengembangkan produk-produk antiparasit, mulai dari sediaan dapat dicampur pada pakan dan air minum, hingga sediaan pasta yang dapat diberikan langsung. Dengan banyaknya varian sediaan anthelmentik yang tersedia, kami berharap kasus cacingan mudah ditekan, sehingga peternak tak kehilangan keuntungannya,” harapnya.

Beberapa produk yang dikembangkan adalah anthelmintika yang sangat efektif untuk memberantas cacing pita pada ayam, seperti Raillietina spp. Produk ini bekerja dengan cara menghambat proses absorbsi glukosa dan fosforilasi oksidatif dalam mitokondria cacing sehingga terjadi penimbunan asam laktat yang kemudian mematikan cacing. Cacing yang mati akan tercerna dalam usus sehingga tidak ditemukan dalam feces.

“Kami juga mengembangkan produk anthelmintika yang efektif digunakan untuk memberantas segala jenis cacing sekaligus meningkatkan fungsi saluran pencernaan ayam. Niclosamide memberantas cacing cestoda, levamisole yang memberantas cacing nematoda, dan selenium berperan sebagai antioksidan pada sel tubuh yang juga sangat dibutuhkan pada fungsi normal kelenjar pankreas dalam menghasilkan enzim-enzim pencernaan,” jelasnya.

Selain kombinasi obat cacing dengan selenium, Gowinda juga mengembangkan obat cacing dengan kandungan piperazine citrate yang dapat bekerja sebagai antikolinerjik yang menghasilkan efek paralisa atau kelumpuhan pada otot cacing, sehingga cacing kehilangan motilitas dan kemampuannya untuk mempertahankan posisi di dalam saluran pencernaan. Gowinda juga mengembangkan antikoksidiosis yang ampuh untuk membunuh parasit Eimeria pada ayam, seperti E. acervulina, E. brunetti, E. maxima, E. tenella, E. mitis, E. mivati, E. necatrix, E. praecox, dan E. hagani.

“Antikoksidiosis ini bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan Eimeria pada fase seksual dan fase aseksual pada tahap II schizont. Selain ampuh membunuh beberapa spesies Eimeria yang menyerang ayam, antikoksidiosis ini juga aman digunakan, sehingga diharapkan dapat menekan kasus koksidiosis,” jelasnya.

Inovasi untuk endoparasit lainnya, seperti leucocytozoonosis, adalah serbuk larut air yang mengandung sulfamonomethoxine. Serbuk ini dapat digunakan untuk pengobatan dan bekerja dengan cara menghambat sintesis asam folat yang dibutuhkan dalam proses sintesis DNA, sehingga menghambat pertumbuhan Leucocytozoon pada stadium schizogony yang menyebabkan kematian parasit. Selain ampuh, terobosan ini juga aman diberikan pada ayam dan tidak mengganggu pertumbuhan serta produksi telurnya selama diberikan sesuai dengan dosis dan aturan pakai.

Sedangkan untuk kasus ektoparasit dan serangga, Gowinda mengembangkan anti-ektoparasit yang dapat membunuh ektoparasit dan mengendalikan lalat serta serangga pengganggu di lingkungan dan kandang. Anti-ektoparasit ini mengandung zat aktif Deltamethrin yang merupakan senyawa kimia sintetik yang berfungsi sebagai anti-ektoparasit spektrum luas dan bersifat non-sistematik. Dibuat dalam formula khusus, anti-ektoparasit ini memberikan knock down effect yang berarti serangga dan lalat langsung jatuh saat di semprot.

“Deltamethrin bekerja secara efektif melalui ingesti maupun kontak langsung dengan ektoparasit dan lalat dengan cara mengganggu sistem impuls dan konduksi syarafnya. Pada akhirnya, zat ini akan menyebabkan paralisa dan kematian pada ektoparasit tersebut. Deltamethrin juga bersifat lipofilik, sehingga mampu melakukan penetrasi jaringan kutikula parasit. Penggunaan secara teratur akan memberikan kenyamanan bagi ternak sehingga mampu bereproduksi secara optimal,” jelasnya.

Melihat kasus ini, April Hari Wardhana, SKH, M.Si., Ph.D., selaku peneliti senior di bidang parasit Pusat Riset Veteriner, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), melakukan riset pengembangan deteksi spesies Eimeria yang berdistribusi di peternakan unggas di Indonesia. Bermimpi membuat peta penyebaran Eimeria di Indonesia, April dan tim mengembangkan riset untuk deteksi Eimeria spp. bekerja sama dengan Prof. Makoto Matsubayashi dari Osaka Metropolitan University, Jepang,

“Selama ini, belum ada laporan atau studi yang memberikan informasi mengenai distribusi spesies Eimeria dalam suatu peternakan. Biasanya, kasus koksidiosis langsung diobati tanpa mereka tahu spesies apa yang menyerang, sedangkan vaksin Eimeria sifatnya spesifik terhadap satu spesies, sehingga penting untuk kita mengetahui spesies apa yang menyerang suatu peternakan. Di samping itu, peternak dapat menentukan strategi pengendalian koksidiosis yang tepat apabila telah mengetahui spesies Eimeria yang terdistribusi dalam peternakannya,” terangnya pada tim Poultry Indonesia ketika ditemui di Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor, Kamis (9/2).

Saat ini, April dan tim sedang fokus melihat persebaran Eimeria di sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dalam riset yang dilakukannya, ada tiga variabel yang dilihat, yakni oocyst per gram (ookista per gram/OPG) dari sampel feses ayam yang dikoleksi dari berbagai peternakan, spesies dominan yang tersebar di peternakan-peternakan tersebut, dan pengembangan metode deteksi molekular yang sederhana. Dengan banyaknya spesies Eimeria yang kini berpotensi menyebar di suatu peternakan ayam, April mengatakan, saat ini, ia dan tim bereksperimen untuk mencari teknik yang mudah dan cepat dilakukan dengan hasil yang tepercaya.

“Apa yang sedang kami lakukan adalah penjajakan pembuatan metode deteksi ke arah spesies. Kami juga mendesain beberapa primer yang diharapkan lebih sensitif untuk mendeteksi spesies Eimeria dan jika memungkinkan, ke depannya kami akan mengembangkan multiplex PCR dengan menggabungkan berbagai jenis primer DNA spesies Eimeria. Jadi, tidak perlu lagi melakukan PCR untuk masing-masing spesies. Satu sampel hanya butuh 3-4 kali PCR saja, kita sudah dapat mengetahui 8 spesies yang berpotensi menyebar di suatu peternakan ayam, sehingga hemat waktu, lebih murah dan strategi pengendalian di lapang dapat ditentukan dengan lebih tepat,” jelasnya.

Melihat kasus parasit yang masih sering terjadi di Indonesia, proses pembersihan kandang dalam istirahat kandang, kontrol vektor, serta penggunaan antiparasit atau anthelmentik yang sesuai dengan kebutuhan merupakan solusi yang dapat dilakukan untuk menekan populasi vektor pembawa parasit yang kemudian juga menekan kasus parasit. Penelitian lebih lanjut mengenai antiparasit berbahan dasar herbal serta deteksi spesies Eimeria yang terdistribusi juga dibutuhkan untuk bisa menekan kejadian parasit di peternakan unggas dan demi pengobatan yang lebih efisien guna produktivitas serta keuntungan yang lebih baik lagi.

Sumber: poultryindonesia.com