Alatternakayam – Dampak dari penyakit akibat parasit pada ayam memang tak senyata penyakit yang diakibatkan oleh virus dan bakteri, akan tetapi bahaya laten yang mengintai jauh lebih merugikan secara ekonomi karena keberadaan parasit menggerus kesehatan ayam secara perlahan. Gangguan kesehatan akibat parasit dapat disebabkan oleh endoparasit dan ektoparasit. Endoparasit merupakan parasit yang hidup di dalam tubuh inang, sedangkan ektoparasit merupakan parasit yang tumbuh di luar tubuh inang. Dengan sistem pemeliharaan yang mana nutrisinya selalu diusahakan terjaga, tak heran jika ayam menjadi salah satu sasaran empuk bagi parasit.
Parasit, makhluk yang secara bergantung pada inang ini seringkali menyebabkan berbagai kerugian dengan menyerap nutrisi inangnya. Alih-alih memberi manfaat, parasit justru dapat menurunkan produktivitas inang yang ditumpanginya.
Ragam parasit pada unggas di Indonesia
Prof. Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, selaku Kadiv. Parasitologi & Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB University, mengatakan bahwa ektoparasit pada unggas dibagi menjadi dua, yakni permanen dan temporal. Ektoparasit permanen merupakan parasit yang terus menerus menempel pada tubuh ayam, seperti kutu, pinjal, caplak, dan tungau tertentu. Sedangkan ektoparasit temporal hanya hinggap pada tubuh ayam, seperti nyamuk yang datang hanya untuk menghisap darah dan lalat.
“Ektoparasit yang paling sering ditemukan pada ayam adalah agas Ornithonyssus bursa penyebab gurem, nyamuk Anopheles sp. dan Culicoides, serta kumbang Alphitobius diaperinus yang lebih dikenal sebagai kutu frengki. Selain itu, ada lalat rumah (Musca domestica), lalat hijau (Lucilia sericata), dan lalat daging atau bangkai (Sarcophaga) yang juga menjadi vektor dari berbagai jenis penyakit,” jelasnya pada tim Poultry Indonesia saat ditemui di Laboratorium Parasitologi & Entomologi Kesehatan IPB, Jumat (10/2).
Berspesialisasi di bidang ektoparasit, Upik mengatakan bahwa ektoparasit dibagi menjadi dua berdasarkan sifatnya, yakni sebagai pengganggu dengan cara menurunkan produksi dan sebagai vektor penyakit. Dalam hal ini, ektoparasit yang merupakan vektor suatu penyakit adalah yang paling berbahaya. Sebagai contoh, nyamuk Anopheles sp. merupakan vektor biologis dari Plasmodium penyebab malaria pada unggas, sedangkan nyamuk Culicoides merupakan vektor Leucocytozoon. Selain itu, kumbang atau kutu frengki juga merupakan vektor biologis dari bakteri Salmonella, sehingga ayam yang tidak sengaja termakan kumbang ini akan terserang Salmonellosis.
“Nyamuk dan agas muncul karena adanya genangan air dimana itu merupakan breeding area mereka. Populasi lalat meningkat karena adanya tumpukan feses yang basah pada litter. Kumbang atau kutu frengki biasanya dapat ditemui di area penyimpanan pakan dimana pakan yang berceceran biasanya akan ditumbuhi jamur dan larva dari kumbang ini memakan jamur tersebut. Larva yang tumbuh menjadi dewasa kemudian menginvasi kandang hingga beranak pinak pada sela-sela kayu kandang yang kemudian merusak struktur bangunan,” jelasnya mengenai kemunculan parasit-parasit ini.
Dr. Mufasirin, drh., M.Si., selaku Staf Pengajar di Departemen Parasitologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, mengungkapkan ada beberapa endoparasit yang menyerang unggas, seperti cacingan (helminthiasis), koksidiosis, dan leucocytozoonosis. Helminthiasis atau cacingan masih sering ditemukan, khususnya pada ayam petelur. Masa hidupnya yang panjang mendukung perkembangan dan siklus hidup cacing, sehingga semakin mudah menyebar ke lingkungan. Salah satu jenis cacing yang paling sering ditemukan adalah infestasi cacing pita Raillietina spp. yang dapat menyebabkan peradangan dan degenerasi vili usus, sehingga timbul gejala klinis berupa gangguan pertumbuhan dan penurunan produksi telur.
“Kasus cacingan pada ayam tentu sangat mengganggu karena jumlahnya yang biasanya banyak dan memenuhi usus, sehingga mengganggu fisiologis usus dan menghisap sari makanan. Oleh karena itu, perkembangan ayam yang mengalami kasus cacingan akan terhambat dan tentunya mengganggu produktivitasnya,” tegasnya ketika ditemui tim Poultry Indonesia, Jumat (17/2).
Menurutnya, dari sekian banyak endoparasit yang ada, koksidiosis masih menjadi momok bagi peternak. Lingkungan berperan besar dalam mendukung perkembangan bibit penyakit ini. Dengan kelembapan yang tinggi dan suhu yang sesuai, ookista pada Eimeria penyebab koksidiosis mudah berspora di lingkungan, sehingga kasus koksidiosis mudah merebak.
Endoparasit lainnya yang seringkali ditemukan adalah protozoa Leucocytozoon caulleryi penyebab leucocytozoonosis atau malaria-like pada unggas dan Plasmodium sp. penyebab plasmodiosis atau malaria pada unggas. Kasus leucocytozoonosis seringkali merebak pada peternakan dengan lingkungan yang banyak semak-semak, terutama di musim hujan. Banyaknya air pada musim hujan menjadi tempat berkembang vektor Leucocytozoon spp., yakni lalat Simulium spp. dan Culicoides sp.
“Kasus plasmodiasis hampir sama, tetapi tidak sehebat leucocytozoonosis. Ada dua stadium pada kasus malaria, yakni skizogonie dan gametogoni yang terjadi di tubuh ayam, sedangkan pada kasus malaria-like hanya ada gametogoni. Perkembangan malaria terjadi di dalam dan luar eritrosit, akan tetapi yang menimbulkan dampak lebih hebat adalah yang ada di dalam eritrosit. Leucocytozoon terdapat pada eritrosit, tepatnya di endotel pembuluh darah, sehingga dapat terjadi pendarahan hebat pada ayam. Oleh karena itu, kasus malaria lebih ringan bila dibandingkan dengan malaria-like,” jelasnya.
Kasus parasit di lapangan
Berdasarkan data yang telah dirangkum oleh Medion, drh. Christina Lilis L., selaku Technical Education & Consultation Manager Medion, mengatakan bahwa penyakit akibat endoparasit maupun ektoparasit masih ditemukan setiap tahunnya di lapangan. Tren penyakit parasit unggas dari tahun ke tahun pada layer masih didominasi oleh endoparasit, seperti cacingan, koksidiosis, dan ektoparasit. Sedangkan pada broiler, kasus parasit yang sering ditemukan adalah koksidiosis dan malaria. Kasus ektoparasit yang disebabkan oleh adanya infestasi kutu di tubuh ayam lebih sering ditemukan pada layer.
Dilihat dari jumlah kasus yang terjadi, penyakit koksidiosis pada broiler menempati peringkat 4 besar dari keseluruhan penyakit dan mengalami peningkatan tiap tahunnya. Selain itu, kasus malaria pada ayam broiler turut mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan, kasus ektoparasit di ayam pedaging tidak termasuk ke penyakit yang sering terjadi (Grafik 1 dan Grafik 2).
“Pada broiler, kasus parasit yang sering terjadi adalah koksidiosis akibat protozoa Eimeria sp.. Penyakit ini menyerang saluran pencernaan bagian usus halus dan sekum dan lebih sering menyerang ayam pada umur 2-3 minggu. Faktor yang mendukung terjadinya penyakit ini adalah kelembapan litter yang tinggi karena akan sangat mendukung perkembangbiakan Eimeria sp.,” jelasnya.
Grafik 1. Rangking Penyakit Broiler (2019-2022)
Grafik 2. Jumlah Kasus Penyakit Parasit pada Broiler (2019 – 2022)
Pada layer, terjadi peningkatan jumlah kasus cacingan dari tahun sebelumnya dan menempati peringkat 3 besar dari keseluruhan penyakit. Begitu juga dengan kasus koksidiosis yang mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya dan menempati peringkat ke-7. Berdasarkan data Medion, kasus ektoparasit pada layer mengalami penurunan yang cukup signifikan dari tahun sebelumnya (Grafik 3 dan Grafik 4).
“Kasus parasit pada layer yang sering terjadi adalah cacingan, seperti Ascaridia sp., Railietina sp., dan baru-baru ini Acanthocephala sp.. Cacing tersebut termasuk cacing yang biasa ditemukan di usus halus. Ayam tertular cacing akibat memakan inang perantara, seperti serangga yang mengandung larva cacing. Faktor yang mendukung terjadinya kasus cacingan adalah sanitasi lingkungan yang kurang baik dan keberadaan vektor cacing di kandang,” terangnya.
Grafik 3. Rangking Penyakit Layer (2019-2022)
Grafik 4. Jumlah Kasus Penyakit Parasit pada Layer (2019 – 2022)
Baik koksidiosis maupun cacingan dapat menyebabkan terganggunya penyerapan nutrisi hingga menurunnya daya tahan tubuh unggas. Namun, diantara keduanya, yang mendapat perhatian lebih adalah koksidiosis. Hal ini bisa jadi dikarenakan kasus cacingan pada unggas tidak ada ancaman kematian dan gejala klinis yang ditunjukkan oleh ayam kurang jelas, sehingga cenderung diabaikan. Berbeda dengan koksidiosis dimana gejala klinis terlihat nyata dan ada ancaman kematian yang mengikuti.
“Dampak yang terjadi apabila ayam terserang koksidiosis adalah terhambatnya pertumbuhan, penurunan efisiensi penggunaan ransum, hingga kematian yang beragam. Tingkat kematian akibat koksiddiosis dapat mencapai 10% hingga 30% untuk spesies Eimeria yang menyerang usus halus. Serangan koksidiosis juga memiliki efek imunosupresif yang menjadikan ayam lebih rentan terhadap infeksi penyakit lainnya,” terangnya.
Menurut Lilis, ayam yang mengalami cacingan akan mengalami penurunan berat badan atau keterlambatan pertumbuhan, penurunan produksi telur 5-20% dan penurunan kondisi tubuh. Penurunan produksi telur yang terjadi dapat disertai dengan menurunnya berat telur. Meski penanganan koksidiosis lebih ekstra, apabila kedua penyakit ini berlangsung sangat parah dan tidak segera ditangani, maka dapat menyebabkan kematian.
“Kasus-kasus parasit yang terjadi pada broiler dan layer disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kepadatan kandang yang terlalu tinggi, kondisi sekam yang basah dan lembap, serta tumpukan feses. Kepadatan kandang berimbas pada kondisi sekam yang lebih cepat basah dan menggumpal, sedangkan tumpukan feses memicu datangnya lalat uang dapat berperan sebagai vektor penyakit seperti cacingan,” ujarnya.
Dampak parasit bikin dahi mengernyit
drh. Fadhillah Yulia Pratama, selaku Product & Registration Assistant Manager PT Vadco Prosper Mega, mengatakan bahwa dalam kasus parasit pada unggas, utamanya kasus helminthiasis (cacingan), tidak ada ancaman kematian dan gejala klinis yang ditunjukkan oleh ayam tidak terlihat begitu jelas, sehingga cenderung diabaikan. Meski dampaknya tak separah penyakit akibat bakteri maupun virus, nyatanya kasus parasit pada unggas tetap menimbulkan kerugian jika tidak segera ditangani.
“Tren kasus parasit yang paling sering ditemui pada unggas adalah cacingan dan koksidiosis. Gejala dari koksidiosis adalah perlambatan pertumbuhan berat badan dan berak darah yang kemudian berdampak terhadap menurunnya produktivitas hingga kematian. Pada kasus cacingan, dapat dilihat bulu ayam kusam, FCR membengkak, dan penyerapan nutrisi menurun. Kasus cacingan, seperti Ascaridia galli, jika sudah parah dan tak segera diobati dapat menyebabkan enteritis yang tentu akan memudahkan penyakit lainnya untuk masuk karena adanya perlukaan pada usus,” jelasnya pada tim Poultry Indonesia ketika diwawancarai secara virtual melalui aplikasi Zoom Meeting, Rabu (8/2).
Fadhillah kemudian mengatakan bahwa ektoparasit, seperti tungau penyebab gurem dan kutu frengki, juga sering ditemui di lapangan. Ektoparasit sebenarnya sangat mengganggu, akan tetapi masih banyak yang belum sadar akan bahayanya. Infestasi ektoparasit yang parah sangat mengganggu karena menyebabkan rasa gatal pada ayam dan menimbulkan stres.
“Imun yang menurun akibat stres karena rasa gatal akan memudahkan penyakit lainnya untuk menyerang. Namun, karena ukuran ektoparasit yang biasa menyerang sangat kecil, dampaknya tidak sigfinikan, dan mudah dibasmi, maka hal ini tak terlalu dipusingkan, kecuali kutu frengki. Kutu frengki perlu diwaspadai karena selain berperan sebagai vektor penyakit yang memiliki dampak besar pada kesehatan ayam, parasit ini juga merusak kandang, sehingga kerugian yang ditimbulkan lebih besar,” terangnya.
Nurul Kawakib, S.Pt., selaku Technical Service PT New Hope Indonesia yang fokus menangani peternakan broiler, mengatakan bahwa di peternakan broiler yang ia supervisi cenderung jarang dan hampir tidak ditemukan penyakit akibat parasit selama beberapa waktu terakhir. Menurutnya, kasus yang sering ditemukan pada broiler, seperti koksidiosis, berhubungan erat dengan kondisi sekam yang ada dan efeknya pun tidak langsung, melainkan harus dipicu dengan kondisi lain, seperti kondisi imunosupresi akibat faktor lain. Koksidiosis biasa muncul karena cuaca yang tak menentu yang mana suhu dan kelembapan dalam kandang berfluktuasi.
“Selama ini, aman-aman saja dan tidak ada penyakit yang benar-benar berpengaruh. Koksidiosis juga sudah hampir tidak ada dan tidak pernah saya temukan. Ketika suhu dan kelembapan dalam kandang berfluktuasi ayam yang kedinginan akan berkumpul di satu tempat dan sekam yang ditempati biasanya akan basah. Jika operator kandang kurang peka dengan kondisi ini dan penanganannya telat, maka ujung-ujungnya penyakit mudah masuk ketika sekam basah,” terangnya pada tim Poultry Indonesia ketika diwawancarai melalui sambungan telepon, Senin (27/2).
Sama seperti koksidiosis, kasus cacing pun sudah tak pernah lagi ia temukan pada peternakan yang ia supervisi. Berbeda dengan layer yang mana masa hidupnya panjang, kasus cacingan pada broiler jarang bahkan tidak pernah ditemukan karena siklus hidup cacing yang lebih lama dari masa hidup broiler hingga dipanen, sehingga tak pernah ada laporan mengenai kasus cacingan.
Disisi lain, Sinarko Santoso, selaku peternak layer dan owner dari Peternakan Sumber Mandiri di Kabupaten Karanganyar, mengatakan bahwa kasus endoparasit yang seringkali ditemukan pada peternakan miliknya adalah kasus cacing pita atau Raillietina sp.. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah populasi lalat yang meningkat akibat berbagai hal, seperti masalah kebersihan kandang, musim buah tertentu, lingkungan sekitar kandang, pasca panen broiler, dan kotoran ayam yang basah. Sedangkan kasus ektoparasit yang pernah ia alami adalah gurem.
“Dampaknya dari kasus cacingan ini lumayan, penurunan produksi bisa mencapai 5%. Kasus koksidiosis juga ada, akan tetapi sangat jarang terjadi. Sedangkan kasus ektoparasit yang pernah saya alami adalah gurem sebanyak 2 kali. Biasanya menyerang ayam yang sedang dalam fase bertelur, baik muda maupun tua. Dampaknya adalah penurunan produksi dan anak kandang yang mengeluh gatal-gatal saat mengumpulkan telur,” jelasnya dalam keterangan tertulis kepada tim Poultry Indonesia, Rabu (1/2).
Gurem memang seringkali ditemukan pada peternakan layer dan sangat mengganggu ayam serta peternak dan anak kandang. Gurem disebabkan oleh agas Ornithonyssus bursa. Hampir sama seperti kutu, agas penyebab gurem ini juga menghisap darah ayam sebagai inangnya, sehingga sangat berbahaya apabila menyerang ayam. Pada kasus terparah, gurem dapat menyebabkan kematian.
“Tantangan dalam menangani kasus parasit adalah istirahat kandang yang tidak bisa saya lakukan karena sistem pemeliharaan multi-age. Menurut saya, penanganan kasus parasit tidak terlalu sulit, akan tetapi dampaknya terhadap produktivitas memakan waktu dan biaya yang lebih besar untuk mengembalikan peforma seperti sedia kala,” pungkasnya.
Sumber: poultryindonesia.com