Alatternakayam – Sekitar 33 tahun yang lalu, penulis sambil tetap bekerja juga belajar di Pascasarjana, Fakultas Ekonomi UGM (FE UGM). Teringat, almarhum pengajar penulis selaku Guru Besar FE UGM, pengajar ilmu pemasaran yang lulusan Haas School of Business, University of California, Berkeley (UCB), USA bercerita dan memberikan ilustrasi singkat tentang usaha industri alas kaki. Yang mana suatu hari Direktur Pemasaran pabrik sepatu di Prancis mengadakan rapat bersama Tim Pemasaran & Penjualan, serta tim Desain dan Promosi.

Tidak peduli seberapa lambat Anda berjalan, yang penting jangan berhenti. Orang pintar akan kalah dengan orang tekun.

Dia memberi penjelasan bahwa perusahaan meningkatkan kapasitas produksi dengan menambah beberapa mesin modern yang canggih, sehingga bisa memproduksi alas kaki dengan lebih banyak, lebih cepat dan lebih banyak model sesuai dengan selera konsumen yang terus berubah.

Oleh karena itu pihak Top Management meminta agar pemasaran lebih diperluas dan penjualan ditingkatkan secara maksimal, sebab kapasitas industri nasional & persaingan bisnis juga terus meningkat. Alhasil perusahaan pun memperluas pemasaran & penjualan di Prancis dan beberapa negara Eropa (existing market) serta negara di benua lain (new market development). Tak hanya itu, mereka juga merancang target penjualan dan target market area, dengan berbagai strategi pemasaran & promosi dalam penjualan serta menyusun & melatih tim pelaksana dalam marketing plan/business plan.

Suatu ketika Sales Manager yang mendapat tugas di suatu negara di benua seberang yang mempunyai masyarakat belum maju (edukasi tertinggal), berdiskusi dengan timnya. Untuk kemudian mengutus tim kecil yang dipimpin oleh seorang Supervisor yang cerdas dalam analisis pasar & sudah banyak pengalaman dalam pemasaran. Dalam waktu 5 hari, tim kecil tersebut sudah pulang dan memberi laporan bahwa akan sia sia membuka pasar dan menjual produk di negara tersebut, sebab masyarakat sangat tidak teredukasi dan hampir semua masyarakat tidak memakai alas sepatu terutama di daerah yang tertinggal (pedesaan terpencil).

Beberapa waktu kemudian Sales Manager tersebut mengutus tim kedua yang dipimpin oleh Supervisor yang juga cerdas dan pandai berbicara & ahli berkomunikasi.  Sekitar seminggu kemudian, tim kecil tersebut pulang dan memberi laporan bahwa masyarakat di berbagai daerah tersebut sulit diajak komunikasi, perlu biaya besar dan waktu sangat lama untuk melakukan edukasi masyarakat di negara tersebut untuk memakai alas kaki. Hal ini membuat Sales Manager menjadi kecewa, gelisah, frustrasi  sebab mendapat teguran dari Direktur Pemasaran (akan di mutasi atau bahkan mungkin terpaksa dipecat).

Beberapa waktu kemudian, datang menghadap seorang Salesman yang masih relatif muda, sabar walaupun tidak pandai seperti ke 2 Supervisor seniornya untuk mendapat kesempatan meninjau pasar di negara tersebut. Sales Manager pun merasa ragu & tidak mau untuk mengutus Salesman tersebut, sebab khawatir gagal lagi. Namun, Salesman tetap berharap diberi kesempatan dan bersedia dipecat bila gagal. Akhirnya dia diutus bersama 2 orang sales junior untuk melihat dan membuka peluang pasar.

Seminggu tidak ada kabar, Sales Manager tidak bisa kontak & makin gelisah. Lebih dari 2 minggu kemudian mendapat kabar untuk mengirim beberapa pasang sepatu & sandal model lama. Hampir 2 bulan berlalu, ke-3 orang salesman muda tersebut pulang dengan wajah cerah dan sukacita, sebab membawa kabar gembira mendapat puluhan order berbagai macam model sepatu & sandal dari masyarakat negara itu.

Lantas pertanyaannya, apa yang terjadi dalam rencana pengembangan pasar di negara tersebut? Pertama, Sales Supervisor senior yang lulusan S2 dan ahli pemasaran itu merasa hebat dan pandai dalam analisis pasar menilai pasar tidak prospektif, sebab masyarakat yang tidak teredukasi dan adat budaya masyarakat yang sudah lama tidak pakai alas sepatu. Supervisor kedua yang sarjana ilmu komunikasi juga memberikan penilaian & prediksi tidak ada harapan untuk menjual sepatu di negara itu.

Hal ini berdasarkan berbagai informasi yang timnya peroleh dari komunikasi dengan tokoh masyarakat yang ditemui, sehingga perlu biaya besar dan waktu sangat lama untuk edukasi, yang hasilnya pun belum pasti berhasil. Terakhir, Salesman muda yang belum pengalaman itu sabar, gigih, dinamis inovatif dalam melakukan pendekatan pada berbagai tokoh serta banyak lapisan masyarakat di berbagai polosok daerah dan memberi contoh langsung tentang manfaat kesehatan memakai alas kaki, serta bagaimana menambah keindahan kaki terutama pada kaki wanita untuk kebutuhan fashion.

Hal ini membuat Direktur Pemasaran dan Sales Manager merasa gembira & optimis untuk membuka kantor perwakilan di negara tersebut serta menjadikan Salesman muda tersebut sebagai Kepala Penjualan. Pada akhir sesi kuliah, alm Guru besar ilmu Marketing memberi tugas pada para mahasiswa untuk membuat penilaian tentang ilustrasi market development tersebut sebagai tool dalam suatu business case study.

Membimbing dan mendidik industri hilir & konsumen

Mengubah dan memperbaiki pola pikir masyarakat dalam berbisnis bukan hal yang mudah. Sekitar 50 tahun lalu, budi daya ayam masih tradisional secara backyard, dengan jenis ayam lokal dan banyak yang belum mengenal ayam ras. Maka perlu upaya keras dan terus menerus untuk memperkenalkan jenis ayam ras tipe petelur dan pedaging yang harus di impor dari luar negeri (AS dan Eropa).

Tidak mudah mengubah cara budi daya tradisional ke peternakan modern dengan berbagai kendala teknis perkandangan, tata laksana budidaya dan upaya menjaga kesehatan ayam agar tidak terserang penyakit. Padahal dulu pelihara ayam kampung tidak perlu buat kandang, sebab memakai sistem umbaran, tidak perlu diberi vaksin & obat, tidak perlu sanitasi, tidak usah beli bibit ayam dan pakan, vaksin, obat. Terkesan dulu serba mudah, dan sekarang harus diubah dengan cara baru yang ribet dan perlu modal (itulah kenangan penulis pada waktu mengadakan bimbingan / penyuluhan teknis di berbagai pelosok desa dan kota kabupaten serta tidak jarang bermalam di desa atau pulang pagi sehabis ceramah).

Setelah beberapa tahun peternak ayam mulai berhasil dalam budi daya dengan populasi ayam ras semakin besar, kemudian mereka menghadapi kesulitan dalam menjual hasil produksi (telur ayam ras dan apalagi ayam ras pedaging). Kala itu, masyarakat belum terbiasa makan telur dan daging ayam ras. Banyak konsumen yang menolak dengan berbagai argumen yang umum & wajar, sehingga sebagai petugas perusahaan juga harus membimbing dan melakukan aktivitas promosi makan telur dan daging ayam ‘londo’ /Leghorn/ras.

Ketika harga telur dan ayam turun, tidak jarang justru membuat harga doc dan pakan naik, sehingga tim pemasaran juga harus memberi penjelasan pada peternak yang tidak paham & marah, selain tetap terus membantu promosi makan telur & daging ayam ras dengan bermacam-macam cara di berbagai daerah di Jawa dan luar pulau.

Tidak mudah bagi petugas tim teknis dan pemasaran dalam menghadapi berbagai masalah yang dialami para peternak, pengusaha poultry shop serta mengubah perilaku konsumen akhir dan pedagang ayam, pemilik kios / warung makan yang menjual menu ayam. Dulu mendidik peternak/petani/pengusaha dalam budidaya ayam ras sungguh tidak mudah. Namun yang lebih tidak mudah lagi adalah mengatasi harga telur dan ayam yang jatuh hingga di bawah biaya produksi, padahal harga sapronak justru naik. Itulah kasus zaman dulu yang terus terjadi sampai zaman sekarang ini yang belum bisa diatasi secara tuntas.

Industri hulu harus mendidik konsumen

Di berbagai negara mana pun, industri perunggasan di hulu (upstream), baik breedingfeedmill dan animal health pharmaceutical pasti mempunyai kemampuan dalam hal manajemen, teknologi, sumber daya manusia, modal, dan berbagai pengalaman di berbagai aspek yang lebih unggul dan kuat apabila dibandingkan para peternak yang bergerak di industri hilir perunggasan (downstream). Dari itu, sudah seharusnya pihak pelaku perunggasan di hulu mau dan terus membantu, membimbing para peternak di hilir dalam hal budi daya, terutama dalam pemasaran, khususnya dalam memperbesar consumer market size dengan mendorong peningkatan konsumsi telur dan daging ayam.

Edukasi masyarakat harus terus dilakukan, sebab dari waktu ke waktu terjadi perubahan perilaku konsumen yang berubah gaya hidupnya, dan karena pergantian generasi baru yang memengaruhi pola pikir mereka. Di negara maju yang populasi penduduknya lebih kecil dari Indonesia, perusahaan perunggasan terus melakukan edukasi, promosi, dan berbagai aktivitas pemasaran untuk meningkatkan konsumsi dalam situasi dan kondisi apa pun.

Dengan jumlah penduduk 270 juta jiwa dan menempati urutan populasi nomor 4 dunia, Indonesia didominasi oleh generasi muda  produktif, cerdas, dinamis, namun dinilai masih dalam kondisi prihatin sebab konsumsi telur dan daging ayam per kapita masih rendah. Yang mana seharusnya hal ini bisa lebih besar, bila para pelaku bisnis, asosiasi peternak, pemerintah, serta akademisi peternakan mau bergandeng tangan untuk terus melakukan edukasi, promosi, dan berbagai aktivitas terkait pemasaran. Terlebih, 25% balita di Indonesia masih mengalami stunting akibat kurang gizi sejak dalam kandungan ibu yang hamil, sebab edukasi tentang gizi makanan yang tidak berkesinambungan. *Staf Ahli Poultry Indonesia, pengamat perunggasan, dan pengajar Global Marketing Management

Sumber: poultryindonesia.com