Mengutip sebuah laporan WattPoultry.com pada 20 DESEMBER 2022, Rabobank membuat 4 prediksi industri perunggasan untuk tahun 2023. Yang mana permintaan unggas global diperkirakan akan meningkat, terutama karena Cina mencabut pembatasan kebijakan nol Covid. Disisi lain, Rabobank optimis mengenai kesehatan industri perunggasan pada tahun 2023, bank yang berbasis di Belanda ini memperkirakan tantangan tahun 2022 akan berlanjut ke tahun 2023 seperti flu burung yang sangat patogen (HPAI), gejolak ekonomi, kekhawatiran geopolitik dan, tentu saja, COVID -19.
Apa yang bisa dilakukan pelaku usaha untuk mengatasi tantangan ini, peternak harus fokus pada sisi operasional atau budidaya pada tahun 2023. Oleh karena itu pelaku usaha harus mampu menciptakan efisiensi, sapronak dengan harga wajar, pemilihan jenis pakan dari pabrikan yang terjangkau dengan kualitas yang baik, penangan biosekuriti di area kandang, dan harus cepat tanggap serta fleksibel dalam membuat keputusan dalam kondisi pasar serta harga yang tidak pasti di tahun 2023.
Peran generasi muda peternakan
Volatilitas ekonomi akan memiliki andil dalam inflasi global termasuk Indonesia, sehingga memengaruhi segalanya mulai dari biaya bahan baku pakan dan tenaga kerja yang harapannya akan mengalami kenaikan upah yang diperoleh. Ditengah mahalnya harga daging merah, pada tahun 2023 ini dapat diperkirakan konsumen akan cenderung membeli ayam dan telur sebagai pilihan protein yang lebih murah. Meskipun kekhawatiran geopolitik terbesar di benak semua orang adalah invasi Rusia ke Ukraina yang akan berdampak pada industri pakan serta iklim ekstrem.
Membaca kedua kondisi di atas dan melihat realita pelaku usaha perunggasan saat ini, Regenerasi peternak di Indonesia masih menjadi suatu persoalan yang acap kali diperbincangkan. Pasalnya, banyak pihak yang menilai bahwa perihal regenerasi ini menjadi sebuah permasalahan yang masih mencari sebuah jalan pemecahan. Berdasarkan data hasil Susenas tahun 2022, perkiraan jumlah pemuda (umur 16-30 tahun) sebesar 65,82 juta jiwa atau hampir seperempat dari total penduduk Indonesia (24%).
Dari persentase pemuda tersebut, hanya sekitar 18,01% (11,85 juta jiwa) yang bekerja di sektor pertanian, lebih kecil apabila dibandingkan dengan sektor manufaktur 25,16% dan sektor jasa 56,82%. Kemudian, apabila merujuk pada Buku Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2022, menunjukkan bahwa share tenaga kerja peternakan terhadap tenaga kerja pertanian sebesar 14,57% atau sekitar 1,72 juta jiwa pemuda yang bekerja di sub sektor peternakan.
Namun demikian secara pandangan lapangan, penulis melihat hal sebaliknya terjadi di dunia perunggasan. Yang mana saat ini terjadi tren peningkatan anak-anak muda yang memutuskan untuk terjun di usaha perunggasan. Terlebih di era disrupsi ini, para generasi muda lah yang lebih melek teknologi, melek perubahan dan bisa mencari sumber informasi dari berbagai media.
Generasi muda saat ini bisa ditemui di berbagai daerah sentra produksi perunggasan. Terlebih para generasi muda saat ini mengedepankan semangat kolaborasi, sehingga banyak muncul jaringan-jaringan peternak milenial di berbagai daerah, seperti di Tasikmalaya dan Bandung. Dan perkembangan kandang-kandang closed house yang terus bertambah, disinyalir juga karena adanya andil tenaga-tenaga baru dari golongan muda ini.
Jadi apabila melihat fenomenanya, sekarang ini banyak generasi kedua yang terjun ke perunggasan. Sedangkan dengan dinamika perunggasan yang sedemikian berfluktuasi, para senior atau generasi tua saat ini justru sudah takut terjun ke perunggasan dan kecenderungannya lebih mencari aman. Peternak yang saat ini berumur 45 -55 tahun sudah tidak tahan harus sport jantung setiap saat.
Coba kita lihat para pelaku perunggasan kisaran umur 45-55 sudah pada habis dan tumbang semua atau kalaupun masih bertahan sebagian besar sudah mulai beralih ke usaha budidaya “kemitraan” atau peternak pasif karena kandangnya sudah atau sedang dikontrakan dengan integrator. Adapun peternak aktif yang masih bertahan saat ini, arah usahanya cuma bertahan saja, cenderung sudah tidak menambah populasi. Adapun yang bertambah itu para pemain-pemain baru yang didominasi anak muda yang masih fresh dan tidak punya persoalan financial atau “dosa” lama.
Dalam mengarungi usaha budi daya perunggasan, penulis melihat bahwa para generasi muda saat ini sudahlah andal. Terlebih dengan penyertaan berbagai teknologi inovasi, membuat performa produksi budi daya dapat lebih optimal. Cuma problemnya, terkadang kebijakan-kebijakan saat ini tidak memberi peluang untuk para peternak menjadi enterpreneurship seutuhnya. Karena narasi perunggasan saat ini diarahkan menuju ke pola kemitraan, dilembagakan nya bahkan diundangkan serta semakin sempitnya ruang gerak menjadi peternak mandiri, menyebabkan peluang untuk generasi muda berusaha secara mandiri itu kecil.
Apa yang dimaksud mandiri? Bukan berarti semua bersumber dari diri sendiri, namun bagaimana individu mampu melakukan usaha dan menghasilkan produk serta menjualnya dengan kehendak sendiri. Bagaimana para pemuda bisa menciptakan produk, dan menjual di pasarnya sendiri. Mampu belajar mengelola keuangan karena ada perputaran jual beli serta mengelola aset serta menjaga rantai pasok dari usaha budidaya itu sendiri.
Dan kebanyakan pemuda yang saat ini terjun ke perunggasan terjebak pada keterbatasan pasar yang ada. Karena semua fokus pada pasar yang sama dan “dibuang” ke Jakarta sebagai pasar terbesar di Jabotabek. Walaupun pasar Jakarta besar, kalau semua berebut disitu maka tidak akan mampu bersaing.
Sebagai contoh, jaringan peternak milenial yang ada di Bandung, keunggulan UMKM adalah memotong mata rantai penjualan livebird yang panjang sehingga hasil produksi dipasarkan langsung ke user. Meski pasar lokal tidak besar tapi mereka bisa memasarkan ayam-ayamnya di sekitar daerahnya dan bisa terus eksis hingga saat ini dan mendapatkan harga jual yang lebih tinggi dibanding dijual ke luar daerah.
Problem peternak itu dari sisi produksi besar tapi market sizenya tidak bertambah. Saat ini, ceruk-ceruk pasar yang ada sangat terbatas. Yang mana dari sisi produksi terus mengalami pertumbuhan yang cepat dan tidak bisa diimbangi dari sisi konsumsi. Untuk itu, para generasi muda ini harus bisa memasarkan produknya ke lingkungan sekitar, sehingga bisa meningkatkan serapan dari daerah dan membuat market size berkembang.
Selain itu, untuk bertahan para generasi muda juga harus mulai memikirkan diversifikasi produk, sehingga bisa lebih luas menjangkau pasar. Jangan hanya fokus ke livebird (LB), tapi coba mulai berpikir ke karkas, olahan, rumah makan dll. Memang tidak mudah, namun dengan sifat adaptif, kreatif dan semangat kolaborasi generasi muda, maka hal ini bukan menjadi suatu hal yang mustahil. *Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Perkumpulan Insinyur dan Sarjana Peternakan Indonesia 2018 – 2022 (PB ISPI)
Sumber: poultryindonesia.com