Alatternakayam – Penelitian tentang kutu frengki di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kutu frengki, baik dalam bentuk larva maupun dewasa, tertarik pada feromon dari alas kandang unggas, atau kombinasi dari feromon dan feses ayam, sehingga kutu banyak dijumpai berkumpul di lingkungan kandang. Larva kutu frengki juga tertarik dengan bau dari sumber makanan. Hal ini dapat menjadi penyebab ayam terinfeksi secara horizontal. Parahnya, hal ini dapat  mengarah ke perkembangan penyakit epizootik (Hassemer et al., 2019).

Ayam dengan pakan terbatas akan memilih untuk makan serangga ini. Anak ayam atau ayam dewasa yang memakan kutu frengki dapat mengalami penurunan kesehatan karena adanya lesi atau luka pada organ pencernaannya yang ditandai dengan diare, sehingga berat badannya menurun. Ayam yang memakan kutu frengki akan mengalami kondisi stres nutrisi karena ayam atau unggas pada umumnya memiliki keterbatasan aktivitas kitinolitik  (mencerna kitin) dalam saluran cernanya.

Daya cerna kitin pada ayam broiler adalah 18-24%, sehingga enzim kitinase ayam memiliki keterbatasan untuk mencerna kitin yang terdapat di permukaan tubuh kutu. Kitin bersifat antinutrisi, sehingga dapat menurunkan nilai gizi lain yang masuk dalam tubuh. Masuknya kutu frengki ke dalam tubuh ayam dapat menyebabkan peningkatan sekresi cairan pencernaan, penurunan nafsu makan, penurunan pH saluran pencernaan, hingga obstruksi usus  ayam (Dzik dan Mituniewicz, 2020).

Selain itu, kutu frengki, baik larva maupun dewasa, juga dapat menyebabkan lesi kulit pada unggas, sehingga unggas yang terpapar menunjukkan tanda-tanda stres dan penurunan produktivitas (Arena et al., 2020). Belum lagi, kutu frengki berpotensi sebagai vektor mikroba patogen pada unggas. Kutu frengki dapat menjadi vektor bagi virus penyebab Marek’s Disease, Gumboro, Newcastle DiseaseAvian Influenza, dan leukemia (Dzik dan Mituniewicz, 2020).

Lebih lanjut, kutu frengki juga dapat menjadi vektor bagi beberapa jenis bakteri, seperti Clostridium sp., Bacillus sp., Campylobacter sp., Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Salmonella sp., dan Staphylococcus sp. (Arena et al., 2020). Kutu frengki juga dapat menjadi vektor bagi jamur Aspergillus spp., serta parasit, seperti protozoa Eimeria dan bertindak sebagai hospes perantara bagi cacing nematoda, Hadjelia truncata (Alves et al., 2015).

Bakteri patogen yang berada dalam tubuh kutu, selanjutnya  kutu masuk ke dalam tubuh ayam maka akan dapat menginfeksi usus ayam dalam jangka waktu lama. Salmonella dapat ditemukan di dalam saluran pencernaan dan hemolimfe kutu frengki setelah paparan selama 30-120 menit. Penelitian yang dilakukan oleh Crippen et al. (2017) menunjukkan bahwa bakteri Salmonella dengan konsentrasi 105 hingga 107 cfu/ml dapat bertahan hidup di dalam tubuh kutu frengki larva atau dewasa selama 24 jam hingga 8 hari, sehingga jika kutu tersebut tertelan oleh ayam, maka ayam tersebut akan terinfeksi secara persisten. Kutu frengki yang membawa bakteri ini bisa keluar bersama feses ayam, dan bakteri dapat bertahan dalam feses selama 8 hari di lingkungan hingga kemudian menginfeksi kelompok ayam  sehat yang lain (Donoso et al., 2020).

Ookista dari genus Eimeria yang tertelan kutu frengki juga dapat menginfeksi ayam dan menyebabkan koksidiosis. Hadjelia truncata merupakan cacing nematoda yang dapat menyebabkan lesi pada lapisan gizzard  atau tembolok, akan tetapi cacing ini hanya terbukti patogen terhadap burung merpati hingga menyebabkan kematian.

Kutu frengki juga kemungkinan berperan sebagai penyebab hypoglycemia spiking mortality syndrome (HSMS) pada ayam broiler umur kurang lebih 6-21 hari. Sindrom ini ditandai dengan tremor kepala, ataxia, dan hipoglikemia akut dengan kadar glukosa plasma rendah kurang dari 150 mg/dl hingga kebutaan. Selain itu, sindrom ini juga dapat disebabkan oleh infeksi virus (Yatim et al., 1999), seperti viral enteritis complex penyebab Runting Stunting Syndrome, yang dapat menyerang ayam pada umur 5-12 hari yang ditandai dengan penurunan berat badan.

Kutu frengki juga dapat menyebabkan masalah kesehatan manusia dengan memproduksi kuinon yang dihasilkan dari kelenjar perutnya sebagai bentuk perlindungan diri. Kuinon sangat reaktif terhadap sistem imunitas manusia dan berbahaya jika terpapar dalam waktu lama (Zafeiriadis et al., 2021). Gejala klinis yang tampak pada manusia yang digigit kutu frengki antara lain menunjukkan tanda-tanda asma, sakit kepala, dermatitis, alergi, rinitis, eritema (kemerahan) dan pembentukan papula serta konjungtivitis dan ulserasi kornea (Dinev et al., 2013).

Pengendalian dan pemberantasan

Pengendalian kutu frengki dapat dilakukan melalui biosekuriti dengan manajemen pengelolaan kandang dan lingkungan unggas yang baik melalui sanitasi di tiap siklus pertumbuhan ayam (Carlos et al., 2018). Langkah-langkah kontrol biosekuriti harus memperhatikan patogen yang ada, vektor serangga atau biologis lain, komponen dalam kandang seperti alas kandang dan feses, serta unggas itu sendiri guna keberhasilan sistem biosekuriti.

Pengendalian lainnya adalah dengan pemberian insektisida kimia yang diaplikasikan pada feses unggas. Pemberian desinfektan dan insektisida pada kandang  dan lingkungan dapat dilakukan pada 14 hari masa kosong kandang. Insektisida dapat disemprotkan ke kandang setidaknya 2 hari sebelum ayam masuk kandang dan juga disemprotkan setiap 7–14 minggu pada kandang ayam petelur.

Pilihan insektisida untuk mengendalikan populasi kutu frengki antara lain organoposfat (tetrachlorvinphos), neonikotinoid (acetamiprid, imidacloprid) atau pyrethroid (cyfluthrin, permethrin). Kerentanan kutu larva dan dewasa dalam populasi ayam broiler terhadap insektisida seperti sipermetrin dan klorpirifos dapat bervariasi. Kutu frengki di Brasil dan India sudah resisten terhadap banyak insektisida, termasuk bifenthrin, cyfluthrin, imidacloprid, permethrin, dan tetrachlorvinphos (Renault dan Colinet, 2021).

Permetrin merupakan insektisida piretroid sintetik yang digunakan untuk membasmi kutu frengki pada semua fase hidupnya. Insektisida ini bekerja dengan cara melumpuhkan sistem saraf serangga sehingga menyebabkan terjadinya kontraksi otot hingga kematian. Tidak semua insektisida efektif untuk membasmi kutu frengki karena keterbatasan mencapai tempat persembunyiannya, misalnya celah-celah dinding dan lantai.

Saat ini, sudah banyak juga ditemukan resistensi insektisida kimia terhadap serangga, seperti fenitrothion dan permetrin di Inggris pada tahun 1996; carbaryl, methoxychlor, dichlorodiphenyltrichloroethane, cyfluthrin, permethrin, sipermetrin, dan klorpirifos di Amerika Utara dan Selatan (Dzik dan Mituniewicz, 2020).

Insektisida kombinasi dari bahan aktif adulticidal, yaitu pyrethroid dan larvicidal dapat menurunkan jumlah kutu frengki. Pyrethroid mengandung cyfluthrin dengan dosis pemberian 0.2 g/50 ml/m2 yang disemprotkan pada dinding kandang, sedangkan larvicidal menggunakan insect growth regulator [IGR] yang mengandung 25% triflumuron  dengan dosis pemberian 2 g/200 ml/m2 dan disemprotkan pada litter. Turunan benzoilfenilurea juga dapat mencegah molting pada serangga dengan mengganggu biosintesis kutikula.

Langkah alternatif dalam pengendalian kutu frengki adalah dengan pemberian insektisida alami, bubuk lembam (kapur terhidrasi dan tanah diatom), dan nematoda entomopatogen (Alves et al., 2015).  Campuran 600 g kapur/m2 dengan 3 liter air dapat menurunkan aktivitas air (water activity) dan meningkatnya pH dimana pH di atas 9.5 dapat mengganggu hidup bakteri patogen.

Jamur entomopatogen juga dapat dikatakan menjanjikan sebagai alternatif  mycoinsecticide untuk pengendalian populasi kutu frengki pada kandang broiler. Pemberian pakan pelet broiler yang dicampur dengan dua isolat jamur Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae dengan konsentrasi 0,2 g konidia/54 g pakan selama 11 hari terbukti menyebabkan kematian larva 87 hingga 98%. Konidia jamur akan menempel pada permukaan tubuh kutu frengki dan kemudian melakukan germinasi, penetrasi, dan proliferasi. Setelah itu, konidia jamur akan menjadi granula di seluruh permukaan tubuh kutu sehingga menyebabkan kutu mati (Rice et al., 2019).

Insektisida alami lainnya yang dapat digunakan adalah minyak esensial dari tanaman Aloysia polystachya Citrus sinensis (jeruk manis), Eucalyptus globulus (kayu putih), Origanum vulgare (oregano), dan Syzygium aromaticum (cengkih) (Arena et al., 2020). Penggunaan gas ozon (O3) sebanyak 40 ppm selama 36 jam dapat menyebabkan 100% kematian kutu frengki larva dan dewasa (Carlos et al., 2018).

Namun, seluruh tindakan pengendalian kutu frengki melalui insektisida juga harus didukung dengan pemberian pakan bernutrisi secara teratur untuk mencegah ayam iseng makan kutu frengki. Selain itu, menjaga kebersihan kandang dan lingkungan melalui tindakan cleaning dan desinfeksi serta mengontrol penyimpanan pakan juga menjadi langkah penting dalam pengendalian hama ini. *Dosen Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya

Sumber: poultryindonesia.com