Alatternakayam – Produk pangan asal unggas, khususnya daging ayam menjadi salah satu aspek yang memegang peran krusial dalam pemenuhan konsumsi nasional masyarakat Indonesia. Daging ayam masih menjadi primadona masyarakat dibandingkan dengan daging sapi dan daging kerbau. Kendati demikian, angka konsumsi daging ayam per kapita di Indonesia masih terhitung rendah apabila dibandingkan dengan persentase global.

AMR adalah ancaman yang amat serius. Sebagai mahasiswa, maka harus menanamkan dan meningkatkan awareness dengan mengupayakan edukasi yang dikemas dalam bahasa yang mudah dimengerti kepada pihak-pihak terkait.

Di tengah kondisinya yang menjadi primadona dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia, produk pangan asal unggas masih dihadapkan dengan berbagai ancaman. Salah satu yang masih hangat diperbincangkan adalah tentang antimicrobial resistence (AMR) atau resistensi antimikroba. AMR menjadi ancaman serius termasuk untuk sektor unggas, terlebih populasi unggas di Indonesia terhitung melimpah dengan total keseluruhan pada tahun 2021 mencapai 3,8 milyar ekor. Panjangnya alur dan proses yang dilalui dari hulu ke hilir sebelum akhirnya bisa diterima oleh masyarakat, membuat banyak kemungkinan yang dapat terjadi pada unggas baik dari sisi kesehatan maupun mutu pangan hasil olahannya.

Peran dokter hewan pada akhirnya menjadi sangat krusial untuk membersamai peternak dalam penggunaan antibiotik yang bertanggung jawab dan tepat guna, dengan tujuan untuk mengendalikan resistensi akan antimikroba. Tidak dapat dipungkiri, terkadang masih ditemui praktik-praktik pemberian antimikroba ataupun antibiotik pada peternakan unggas yang dinilai masih belum bijak. Pemberian antibiotik terkadang masih dijadikan “sumber utama” dalam penanganan masalah ataupun penyakit yang terjadi dalam suatu peternakan.

Tanpa disadari hal tersebut bukan hanya menjadi celah resistensi dari ternak terkait, namun ketika adanya suatu zat dalam jumlah yang tidak terkontrol bisa menyebabkan residu pada ternak. Yang pada akhirnya hal ini dapat meningkatkan risiko resistensi pada manusia yang mengonsumsinya. Hal ini bukan menjadi ancaman belaka, pasalnya pada tahun 2021 ada sekitar 1,27 juta jiwa yang meninggal akibat AMR. Bahkan beberapa pihak dan lembaga memprediksi tahun 2050 mendatang, kematian akibat AMR akan menjadi nomor 1 di dunia.

Tentu langkah penyelesaian yang dapat dilakukan tidak hanya menitikberatkan hanya pada pelaku di lapangan saja. Namun dibutuhkan komitmen dan gerakan multisektoral dengan pendekatan one health untuk menyelesaikannya secara lebih holistik. Terlebih permasalahan AMR ini sudah bukan masalah yang menjadi perhatian nasional, namun menjadi suatu ancaman bagi masyarakat dunia. Namun demikian, sebelum berupaya mengeluarkan ide, gagasan, ataupun ikut serta terlibat dalam gerakan yang lebih masif dalam penyelesaian AMR ini, banyak hal kecil yang dapat kita mulai dari diri sendiri, seperti menggunakan antibiotik yang lebih bijak dan bertanggungjawab pada diri sendiri, maupun dengan memperingatkan orang-orang yang kita kenal di lingkungan sekitar.

Kemudian, apabila dilihat dari perspektif mahasiswa terlebih mahasiswa kedokteran hewan dan mahasiswa peternakan, tentunya kita cenderung lebih sering bersinggungan dengan para peternak di lapangan. Kita bisa mulai menanamkan dan meningkatkan awareness dengan mengupayakan edukasi yang dikemas dalam bahasa yang mudah dimengerti kepada pihak-pihak terkait. Selain itu, sebagai representasi dari kaum intelektual muda, kita selaku mahasiswa harus tetap bisa untuk berbicara atas data dan fakta. Mari sama-sama mengambil langkah dalam mencegah resistensi antimikroba. Demi meningkatkan jaminan mutu kesehatan masyarakat dan demi meningkatkan kesejahteraan ternak di dunia perunggasan. *Mahasiswa Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran dan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (PB IMAKAHI)

Sumber: poultryindonesia.com