Alatternakayam – Mengenai langkah preventif, drh. Ilsan Arvan Nurgas, selaku Direktur PT. Satwa Medika Utama, mengatakan bahwa dalam menanggulangi penyakit EDS, penerapan biosekuriti secara ketat, tertib dan teratur di kandang sangatlah penting.
Biosekuriti merupakan upaya pengendalian wabah dan mencegah penularan penyakit dengan kontak yang tertular untuk meminimalisir penyebaran infeksi agen.
Menurut Trijaya (2017), terdapat tiga elemen biosekuriti, meliputi isolasi atau pemisahan kandang, kontrol lalu lintas, dan sanitasi. Penerapan biosekuriti pada industri unggas petelur meliputi kontrol pergerakan unggas, program vaksinasi, desinfeksi, isolasi, pemberian obat, dan penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dan identifikasi CCP (Critical Control Point).
Penerapan biosekuriti pada peternakan unggas dilakukan dengan cara mengontrol pergerakan ternak unggas, manusia, peralatan, hingga alat transportasi yang keluar masuk area peternakan. Di samping itu, perlu dilakukan penerapan biosekuriti tambahan dengan melakukan prosedur desinfeksi yang benar dan pembersihan kandang guna menurunkan tingkat infeksi dan penyebaran penyakit.
Pemisahan ternak dari spesies unggas lain dan spesies burung non-unggas termasuk burung liar, hewan pengerat serta serangga yang dapat berpotensi dapat menularkan penyakit juga merupakan langkah yang penting. “Selain itu, kegiatan desinfeksi di kandang juga merupakan hal yang penting. Virus EDS ini tergolong Adenovirus, bahkan tidak mati dengan formaldehyde 0.5%, sehingga kita harus mencari jenis desinfektan yang efektif agar eradikasi virus di lapangan maksimal,” ujarnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gusti Ayu Yuniati Kencana (2017) dengan judul “Immune Response of Layer against Newcastle Disease and Egg Drop Syndrome Vaccines”, menjelaskan bahwa belum ditemukan pengobatan yang efektif untuk infeksi virus EDS. Strategi utama yang dapat dilakukan untuk mencegah munculnya penyakit ini adalah dengan vaksinasi dan peningkatan biosekuriti.
Selain program biosekuriti, penerapan program vaksinasi yang tepat, baik secara umur maupun dosis juga tidak boleh dilewatkan. Sejauh ini, program pencegahan terhadap penyakit EDS di Indonesia sudah dilaksanakan secara intensif, baik menggunakan vaksin aktif maupun vaksin inaktif. Vaksinasi bertujuan untuk memperoleh kekebalan spesifik yang protektif guna menghadapi kasus lapangan (Hewajuli and Dharmayanti, 2015; Kencana et al., 2015). Namun, Ilsan mengusulkan untuk dibuatnya vaksin khusus EDS.
“Di lapangan, masih ada outbreak EDS, sehingga hal ini seharusnya dapat menjadi perhatian bersama. Selama ini, vaksin EDS dibuat dalam bentuk vaksin inaktif dan dikombinasikan dengan virus lain di dalamnya, seperti Newcastle Disease virus (NDv) dan Infectious Bronchitis virus (IBv). Mungkin dapat dilakukan pemberian vaksin khusus EDS dalam bentuk tunggal inaktif dan tidak digabung dengan penyakit yang lain agar kerja vaksin lebih maksimal,” terangnya.
Di sisi lain, dalam melakukan vaksinasi, terdapat beberapa faktor yang menunjang keberhasilan pengobatan tersebut, salah satunya baseline titer. Baseline titer merupakan level minimal titer antibodi yang harus dicapai agar peternakan aman dari infeksi penyakit tertentu di lingkungan peternakan itu sendiri. Untuk mendapatkan baseline titer, dilakukan monitoring titer antibodi secara rutin pada ayam sehat selama 2 hingga 3 periode pemeliharaan.
Pada ayam ras petelur, monitoring titer antibody dilakukan pada dua fase, yaitu fase kritis dan fase produksi. Fase kritis adalah saat ayam mulai bertelur, menjelang puncak produksi, dan saat puncak produksi, yaitu pada minggu ke-18, 25 dan ke-30. Sedangkan pada fase produksi, monitoring titer antibodi dilakukan dengan pengambilan sampel darah tiap 1 hingga 2 bulan sekali.
Sumber: poultryindonesia.com