Alatternakayam – Dalam usaha budi daya perunggasan, optimalisasi produksi merupakan sebuah hal yang sudah sepatutnya menjadi tujuan. Pasalnya tingkat produksi ternak secara langsung akan berkorelasi terhadap keuntungan yang akan di dapat.
Berbicara pemeliharaan unggas, tentu tak bisa dilepaskan dari gangguan kesehatan atau penyakit yang berpotensi besar menjadi sebuah hambatan. Pasalnya dampak yang ditimbulkan oleh gangguan kesehatan ini pun pun cukup kompleks dan tidak bisa dianggap enteng.
Ditambah lagi, faktor cuaca dan manajemen yang masih seringkali kurang tepat membuat kejadian penyakit pada unggas menjadi tak terhindarkan. Pada akhirnya, apabila hal ini tidak bisa ditangani dengan baik, maka produksi tidak dapat maksimal, sehingga keuntungan yang diharapkan bisa saja susah didapatkan.
Fenomena tersebut menjadi sebuah konsen bagi Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia (ADHPI) yang merupakan organisasi non-territorial yang berada di bawah naungan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI). Asosiasi ini menjadi wadah untuk menyatukan minat ketertarikan dokter hewan yang bergerak dan berkarier di bidang perunggasan.
Dalam hal ini, ADHPI fokus pada persoalan perkembangan penyakit unggas, khususnya yang bersifat zoonosis seperti Avian Influenza (AI) yang terus mengalami mutasi dan sempat merebak beberapa tahun kebelakang. Selain itu, menurut penulis penting bagi anggota ADHPI, mempunyai fokus pada permasalahan produktivitas unggas. Yang awalnya hal ini bermula dari permasalahan penyakit, namun realitas di lapangan akhir-akhir ini dirasa tidak cukup apabila melihatnya dari satu indikator itu saja.
Untuk itu dalam dinamikanya, dokter hewan perunggasan mencoba mencari tahu dan belajar bagaimana produktivitas ini bisa ditingkatkan, sembari terus mengawal permasalahan penyakit yang muncul di lapangan. Jadi, selain fokus ke penyakit, ADHPI juga mengawal dan mendampingi peternak untuk mencapai optimalisasi produksi di peternakan. Kemudian, untuk mewujudkan produktivitas yang optimal, terdapat tiga komponen penting yang harus diperhatikan. Pertama adalah genetik ayam yang baik, kedua pakan yang sesuai dengan kebutuhan, dan ketiga adalah manajemen pemeliharaan yang tepat.
Di lapangan, faktor genetik yang baik tercermin dari kualitas day old chick (DOC) yang diterima oleh peternak. DOC ini memang merupakan salah satu komponen dari usaha peternakan ayam, yang keberadaanya sangatlah vital. Boleh dikata kegagalan sedikit saja tentang DOC yang diterima oleh para peternak akan menyebabkan akibat yang sangat besar. Intinya, produktivitas daripada peternakan itu salah satunya ditentukan oleh kualitas DOC. Oleh karena itu, DOC itu harus baik dan distandarisasi, sehingga peluang peternak untuk mendapatkan produksi yang optimal itu besar.
Di sisi lain, kualitas DOC yang baik juga dapat sangat mengurangi penggunaan antibiotik di lapangan. Karena pemakaian antibiotik di peternakan juga bergantung pada mutu DOC dari perusahaan pembibitan ayam. Untuk itu, sekali lagi regulasi tentang standar DOC harus dilaksanakan sehingga anak ayam terjamin tumbuh sehat.
Faktor kedua yang harus diperhatikan oleh para peternak adalah pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dalam budi daya ayam petelur, terdapat beberapa indikator sederhana yang dapat digunakan untuk melihat pemberian pakan yang telah sesuai atau belum dengan kebutuhan ayam, seperti feed intake (FI), hen day production (HDP), serta feed conversion ratio (FCR).
Beberapa indikator ini sebisa mungkin harus sesuai dengan target produksi yang telah ditetapkan oleh perusahaan pembibit pada umur tertentu. Apabila FI telah berada pada rentang standar tetapi HDP rendah, maka berarti ayam dalam kondisi sehat, pakan terpenuhi secara kuantitas, namun kurang secara kualitas. Begitupun pada angka FCR yang terlampau tinggi juga menggambarkan kualitas pakan yang rendah.
Kemudian kedua faktor diatas juga harus ditunjang dengan manajemen pemeliharaan yang tepat. Biosekuriti menjadi satu hal yang juga tak kalah penting untuk diperhatikan. Konsep dasar biosekuriti adalah menjauhkan kandang dari bibit penyakit atau mengusir penyakit dari kandang. Ketidakpahaman dan ketidaksadaran peternak akan kesehatan ternaknya merupakan titik kritis yang kerap menjadi masalah di lapangan.
Menurut penulis, terdapat tiga segmen yang harus diperhatikan yaitu biosekuriti konseptual, konsepnya adalah memilih lokasi kandang yang tepat dan ideal, tidak boleh di pinggir jalan raya dan dekat dengan permukiman. Yang kedua, biosekuriti struktural adalah menentukan layout peternakan seperti instalasi air minum, pakan dan perkantoran. Yang ketiga, biosekuriti operasional, yakni aktivitas sehari-hari seperti desinfeksi.
Aktivitas sehari-hari dalam biosekuriti operasional yang dimaksud adalah pengaturan lalu lintas dan penerapan sanitasi yang harus dilakukan sebelum masuk ke kawasan kandang. Dalam pengaturan lalu lintas, ditekankan untuk batasi pengunjung yang ingin memasuki area kandang. Selain itu, pada penerapan sanitasi, penting untuk melakukan desinfeksi saat periode pengosongan kandang berlangsung.
Terlepas dari beberapa hal di atas, hal pertama yang harus dilakukan oleh peternak adalah mengubah persepsi usaha peternakannya, sehingga secara perlahan teknis manajemennya bisa diperbaiki. Sebagai Wakil Ketua Umum ADHPI penulis berpesan kepada kolega dokter hewan, ADHPI ini terdiri dari berbagai perusahaan, untuk itu jangan lah hanya menjual produknya semata.
Namun, seperti pepatah yang bilang “pupuklah pohonnya baru kita panen buahnya”, sehingga mari kita edukasi dan damping peternak agar produktivitasnya baik, baru setelahnya kita bisa mendapatkan ordernya. Jadi, ADHPI tegas mengambil sikap, faktor produktivitas merupakan salah satu garapan yang utama, sembari pendampingan terkait perkembangan penyakit terus berjalan. *Wakil Ketua Umum Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia
Sumber: poultryindonesia.com