Alatternakayam – Berangkat dari latar belakang sebagai Petroleum Engineer atau Insinyur Perminyakan, tak menyurutkan semangatnya dalam mengembangkan bisnis di bidang ayam kampung. Andi Mannappiang merupakan ahli di bidang perminyakan yang telah mengarungi berbagai macam pengalaman hidup. Mulai dari awal karirnya di bidang offshore selama 12 tahun hingga menjadi abdi negara sebagai seorang ASN di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama 15 tahun. Namun semua zona nyaman tersebut ia tinggalkan untuk terjun mengembangkan bisnis di bidang budi daya ayam kampung.
Suratan takdir memang tidak ada yang tahu. Walaupun berada di zona nyaman sebagai pengabdi negara yang sehari – harinya bekerja sebagai pegawai negeri sipil, ia tinggalkan untuk menangkap sebuah peluang lewat bisnis ayam kampung yang menjanjikan.
Hal tersebut menurut Andi tak terlepas dari panggilan Tuhan yang memberikan jalan lain dalam pemenuhan ekonomi. Siapa sangka, hobinya memelihara ayam kampung ini, ternyata sekarang berkembang menjadi sebuah kegiatan yang produktif dan bisa menjadi sumber mata pencaharian.
“Saya berkecimpung di dunia peternakan ayam kampung ini sebenarnya hanya mengikuti hobi, karena background saya sebenarnya bukan peternakan, melainkan perminyakan. Saya memiliki experience yang cukup panjang di bidang perminyakan mulai dari offshore hingga menjadi ASN. Hingga pada suatu waktu, saya memutuskan resign dari pekerjaan tersebut, karena takdir Allah membimbing saya untuk mengembangkan sesuatu yang lebih besar dan bermanfaat buat orang banyak. Dimana akhirnya saya membuka usaha pemeliharaan ayam kampung dan membuka kesempatan untuk saudara-saudara saya yang lain untuk ikut terlibat bisa bekerja disini,” jelasnya kepada Poultry Indonesia secara langsung di daerah Bogor, Jumat (27/5).
Sembari bernostalgia, Andi yang merupakan Owner dari PT Mitra Unggas Sonofera ini menceritakan bahwa dulu dirinya mempunyai cita-cita yang sangat sederhana. Dimana Andi ingin bangun pagi dan pakai sarung, kemudian di belakang rumah memberi pakan ayam. Hidup sederhana dan damai itulah yang dulu sangat Andi dambakan. “Dulu waktu pertama saya datang ke Jakarta, sempat ditanya sama teman terkait cita-cita saya? Saya menjawab bahwa ingin bangun pagi pakai sarung dan dibelakang rumah memberi pakan ayam. Sangat sederhana. Dan Alhamdulillah, saat ini telah tercapai. Mungkin pada saat saya jawab itu, ada malaikat yang lewat dan ikut mendoakan,” candanya.
Selain karena hobi, Andi melihat bahwa usaha ayam kampung ini mempunyai peluang yang sangat besar untuk dikembangkan. Menurutnya, sektor ini masih mempunyai banyak ruang yang bisa belum tersentuh dan sangat mungkin untuk diimprovisasi. Improvisasi tersebut bisa dilakukan melalui bibit, sumber indukan, hilir hingga strategi pasarnya. Hal ini juga didorong oleh luasnya pasar ayam kampung di Indonesia. Karena dirinya berkeyakinan bahwa terdapat golongan masyarakat yang fanatik dengan ayam kampung.
Berdasarkan kalkulasi kasarnya, Andi mengasumsikan dari jumlah penduduk Jakarta sekitar 10 juta orang, yang 1 % diantaranya menyukai ayam kampung. Itu artinya ada 100 ribu orang yang butuh ayam kampung. Apabila satu ekor ayam kampung saya, bisa dimakan berdua, maka setidaknya setiap harinya, daerah Jakarta saja membutuhkan 50 ribu ekor ayam kampung. Dan menurutnya hal tersebut belum terpenuhi hingga saat ini. “Itu adalah peluang yang coba saya maksimalkan. Dan melihat dari sisi competitor pun masih sangat sedikit, bahkan bisa dihitung jari. Jadi, kalau ada orang bertanya, apakah saya peternak? Saya akan menjawab tidak, saya adalah pebisnis yang dalam hal ini memilih objek bisnis ayam kampung yang mempunyai potensi sangat besar,” ujar Andi.
Jatuh bangun perjalanan
Terbentur, terbentur, terbentur dan terbentuk. Ungkapan bijak itulah yang mungkin cocok disematkan pada perjalanan bisnis ayam kampung yang telah Andi geluti kurang lebih 6 tahun kebelakang. Pasalnya, sejak memulai usaha pada tahun 2016, membuat dirinya banyak mengalami perjalanan jatuh bangun usaha. Andi bercerita bahwa awal usaha yang ia pilih adalah bidang pembesaran ayam kampung. Namun, kala itu pertumbuhan usahanya tidak berjalan sesuai harapan.
“Awal pemeliharaan ayam kampung, saya membeli bibit atau DOC dari beberapa produsen dengan total populasi awal sebesar 120.000 ekor. Seiring periode pemeliharaan, dengan keterbatasan ilmu dan pengalaman, membuat ayam saya mati hingga setengah populasi atau sekitar 60.000 ekor. Apakah hal ini membuat saya berhenti? Tentu tidak,” tegasnya dengan mantap.
Andi meneruskan bahwa pada saat banyak ternaknya yang mati, hampir semua temannya bilang dan mengingatkan bahwa usahanya akan rugi dan tidak dapat berkembang. Namun, bukannya menyerah dan mengamini pernyataan temannya tersebut, Andi justru mendapatkan hikmah yang sekaligus menjadi momentum titik balik kebangkitan usahanya. Kala itu, ia melihat bahwa bangkai ayamnya diambil oleh pembudidaya lele dan dijadikan pakan. Setelah memastikan dan melihat bahwa bangkai ayam tersebut benar-benar dimakan oleh lele, Andi mendapatkan sebuah poin bahwa rezeki telah diatur dan tidak mungkin salah.
“Pada saat melihat bangkai ayam saya dimakan lele, disitu mindset saya langsung berubah. Dimana kematian 60.000 ekor itu bukanlah kerugian, namun keuntungan dalam bentuk lain. Dimana Allah menjadikan saya mengantarkan rejeki ke lele yang juga makhlukNya. Selain itu, lele ini saja tidak bergerak kemana-mana rezekinya telah dijamin sama Allah, dengan kematian ayam saya. Apalagi kalau saya terus berusaha. Akhirnya saya ikhlas dan mencoba mengevaluasi kembali usaha saya,” jelasnya.
Dari proses evaluasi yang dirinya lakukan, salah satu faktor yang menyebabkan ternaknya mati adalah ketidakseragaman kualitas bibit yang dipelihara karena dari sumber bibit yang berbeda-beda. Setelah kejadian tersebut, Andi bertekad untuk berdaulat bibit. Dari situlah dirinya memutuskan untuk melakukan usaha di sektor pembibitan ayam kampung.
“Kami memulai lagi dengan memelihara sampai 7 bulan hingga ayam bisa menghasilkan telur. Kemudian telur itu kita tetaskan untuk memproduksi bibit. Dan Alhamdulillah nya, saya ditemukan dengan teman yang mempunyai mesin tetas, tetapi tidak ada produksi telurnya. Disitulah kami bekerjasama. Dan dengan berbagai kerjasama ini, secara tidak langsung juga akan menambah kebermanfaatan untuk orang lain,”jelasnya.
Sumber: poultryindonesia.com