Sumber Gambar: poultryindonesia.com

Alatternakayam – Technical Sales Representative PT SHS Internasional, drh. Dimas Prasetyo, saat diwawancarai Poultry Indonesia, mengatakan bahwa beberapa peternak masih belum menyadari akan disbiosis ini, walaupun tidak terlihat secara nyata, disbiosis ini menjadi suatu gangguan yang dapat menimbulkan kerugian bagi peternak akibat turunnya produksi dan membuka jalan agen patogen lain yang dapat menyebabkan gangguan pada usus, seperti Necrotic Enteritis (NE). “Jika ususnya terganggu, maka penyakit akan mudah masuk,” jelasnya di Jakarta, Kamis (5/12). Dimas juga menambahkan bahwa disbiosis ini memang bukanlah ancaman utama bagi peternak karena tingkat mortilitasnya yang rendah jika hanya ditemukan disbiosis saja, akan tetapi gangguan ini menjadi salah satu faktor bengkaknya Feed Conversion Ratio (FCR) dalam peternakan broiler.

Stres selalu menjadi faktor pendukung terjadinya penyakit, dalam hal ini hormon stres seperti norepinefrin dan epinefrin dapat mendukung pertumbuhan bakteri entero-patogenik secara signifikan, beberapa di antaranya merupakan bakteri zoonosis yang menyebabkan food borne disease, yaitu Eschericia coli, Yersina enterocolitica, Pseudomonas aeurinosa, Salmonella enteritidis, dan Salmonella typhimurium.

Berdasarkan temuan di lapangan, disbiosis ditemukan dapat terjadi pada semua umur ayam. Disbiosis banyak ditemukan pada ayam muda yang keadaan mikrofloranya tidak stabil atau pada hewan yang mengalami penurunan sistem imun. Mikroflora dalam usus sendiri baru terbentuk setelah 5-7 hari, sehingga diperlukan sistem brooding, pakan, dan penyerapan kuning telur untuk membentuk sistem ketahanan pada usus ayam muda tersebut.

Poliferasi mikroorganisme pathobiont pada disbiosis akut menyebabkan perubahan mikroorganisme pathobiont menjadi enteroipatogenik yang dapat memproduksi toksin dan metabolit yang dapat meningkatkan jumlah gas melalui fermentasi, perubahan keasaman usus, iritasi maupun inflamasi mukosa, dan meningkatkan sekresi mukus. Hal tersebut menurunkan tingkat kecernaan pada pakan, bahkan menyebabkan peningkatan keparahan dari disbiosis.

Dimas mengatakan bahwa memang gejala klinis yang ditimbulkan oleh disbiosis dapat dikatakan tidak spesifik, seperti ayam yang terlihat lemas, diikuti oleh wet droppings, enteritis, diare, dan FCR yang meningkat. Temuan pada kasus disbiosis yang biasanya ia dapati saat pemeriksaan bedah bangkai di lapangan yaitu usus terlihat menggembung karena adanya pembentukan gas, bahkan diameter usus tersebut bisa 4-5 kali dari bentuk normal. “Saat usus dibuka secara perlahan, biasanya terlihat gelembung-gelembung udara dan cukup banyak,” ungkapnya.

Kerugian peternak ayam oleh disbiosis biasanya terjadi akibat inflamasi kronis pada kasus disbiosis minor yang secara konstan menurunkan berat badan, meningkatkan nilai FCR, dan buruknya efisiensi konversi pakan. Litter yang basah akibat diare maupun wet dropping pada kasus disbiosis berpengaruh pada tingginya kadar amonia kandang. Hal tersebut juga mempengaruhi sistem pernapasan unggas dimana amonia dapat menyebabkan iritasi pada villi-villi saluran pernapasan, sehingga mikroorganisme patogen akan lebih mudah menginvasi dan menimbulkan gangguan respirasi.

Pencegahan terhadap disbiosis yaitu dengan meminimalkan beberapa faktor, seperti stressor lingkungan, menjaga kualitas air, memperbaiki pencernaan pakan, menghindari antinutrisi dari pakan, mikotoksin, dan pembusukan. Jika manajemen pemeliharaan sudah dilakukan dengan baik, maka kejadian disbiosis ini dapat ditekan. “Menciptakan lingkungan yang baik dan nyaman untuk ayam merupakan langkah yang perlu dilakukan untuk mencegah disbiosis,” papar Dimas.

Pada era pelarangan antibiotic growth promoter (AGP) yang biasanya digunakan untuk menurunkan angka hasil metabolit dari mikroorganisme patogen, penambahan feed additives menjadi pilihan utama untuk menekan terjadinya disbiosis. Penambahan feed additives juga tidak meninggalkan residu antibiotik yang menjadi masalah kesehatan utama dan diprediksi menjadi pembunuh utama terbesar di muka bumi pada tahun 2050 yaitu resistensi antibiotik.

Kesadaran bahaya penggunaan antibiotik tersebut mendorong para peternak menggunakan berbagai jenis alternatif feed additives seperti probiotik, prebiotik, sinbiotik (gabungan probiotik dan prebiotik), enzim, asam organik, dan fitobiotik. Penggunaan alternatif ini meningkat tajam di negara Uni Eropa yang sudah jauh terlebih dahulu melarang AGP untuk hewan produksi. Introduksi substansi yang berperan sebagai pengganti antibiotik dapat dilakukan di broiler pada fase-fase berikut, seperti in ovo, setelah menetas, pemberian pakan starter, pergantian pakan, sebelum penarikan pakan, dan saat terjadi disbiosis bakterial, walaupun memang belum adanya  pemahaman yang baku terkait waktu pemberian ini (Kogut 2018).

Kesehatan usus kunci pencegahan disbiosis

Probiotik dan prebiotik digunakan untuk mengintroduksi bakteri baik pada usus serta mendukung pertumbuhan bakteri tersebut. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian probiotik, prebiotik, atau senyawa bioaktif sejak dini dpaat memberikan hasil yang ideal terhadap pertumbuhan dan proteksi dari bibit penyakit (Roto et al. 2016). Berdasarkan pengalaman Dimas dalam penggunaan probiotik pada kandang closed house selama empat periode, penggunaan probiotik ini memberikan pengaruh positif pada performa ayam daripada tidak sama sekali. “Pada periode yang tidak diberikan probiotik, pada hari ke-21 sudah timbul NE dan FCR maupun IP yang cukup jauh dari target yang direncanakan,” ucapnya.

Belajar dari periode sebelumnya, probiotik diberikan pada minggu pertama, kedua, serta ketiga. Pada perlakuan ini, performa kandang tersebut cukup memuaskan. Berdasarkan pengambilan sampel yang telah dilakukan, keseragamannya lebih baik, feses yang bentuknya lebih baik (kering), dan amonia dalam kandang lebih terjaga. Hasilnya kualitas udara dalam kandang lebih baik. Penampakan usus ayam pada perlakuan ini pun juga lebih baik. “Saran saya untuk menangani disbiosis ini bukan antibiotik, tapi dengan probiotik,” katanya. Dimas juga menyarankan untuk memberikan probiotik setelah program medikasi dengan antibiotik dan saat ganti pakan.

Pada penggunaan Enzim, menurut Adeola dan Cowieson (2011), enzim eksogenus seperti B-glukanase, xilanase, amylase, B-galaktosidase, protease, lipase, fitase, dan B-mannanase sudah dipakai sebagai suplementasi pakan ayam untuk memperbaiki keceraan dari komponen pakan serta memodulasi mikrobiota usus ayam. Terdapat dua cara kerja enzim yang dapat mendegradasi non-starch polysaccharides dari bahan baku pakan asal tumbuhan yang juga dapat memberikan pengaruh pada mikrobiota, yaitu dengan meningkatkan digesti dan memberikan oligosakarida yang solubel dan dapat difermentasi kepada mikrobiota, serta memberikan ekosistem usus yang lebih stabil sehingga mikroba yang merugikan tidak dapat berkembang (Roberts et al. 2015). Pertumbuhan bakteri merugikan ini juga dapat ditekan menggunakan asam organik dan fitobiotik, di samping itu, fitobiotik turut berperan untuk menstimulasi sistem imun dan anti-inflamasi pada usus.

Baca Juga: Formula Pakan Ayam Menggunakan Bawang Putih

Sumber: poultryindonesia.com