Alatternakayam – Inclusion Body Hepatitis merupakan penyakit akut yang menyerang ayam muda usia 4–8 minggu, yang ditandai dengan adanya anemia, sayap terkulai, jengger dan pial pucat, biasanya kematian berlangsung mendadak tanpa menunjukkan gejala klinis yang jelas. Angka kematian (mortalitas) mencapai ± 10 %. Penyakit ini pertama kali ditemukan tahun 1963 yang ditandai adanya hepatitis yang diikuti dengan ditemukannya intranuklear inklusion bodi pada ayam, agen penyebabnya belum dapat diidentifikasi dan disebut IBH, 1970 menyebar ke Kanada dan Amerika.
Penyakit ini disebabkan oleh Adenovirus, familia Adenoviridae. Inclusion Body Hepatitis disebabkan oleh sedikitnya 3 serotipe dari DNA Adenovirus dan diperkirakan minimum ada 19 serotipe Avian Adenovirus yang pernah dideteksi dari ayam, kalkun, angsa dan entok. Virus tersusun oleh asam dioksinukleat (DNA), protein dan lemak. Virus stabil pada pemanasan 560 C selama 3 jam, tahan dalam keadaan asam dan zat kimia tertentu misal ether dan chloroform. Virus tahan terhadap bermacam-macam desinfektan kecuali yang mengandung formaldehida dan iodine. Species yang rentan adalah ayam muda (umur 4-10 minggu), kalkun, burung puyuh, angsa dan itik.
Patogenitas penyakit tergantung dari virus tersebut dan inang. Beberapa faktor yang penting dalam infeksi penyakit ini adalah umur, ayam muda lebih sensitif di banding ayam dewasa, kemudian adanya maternal antibodi dan komplikasi dengan penyakit Infectious Bursal Disease (IBD) dan infeksi penyakit lainnya. Virus tahan terhadap pengaruh lingkungan, tetapi dapat menyebar.
Virus berkembang biak pada inti sel dari hewan yang terserang dan pada umumnya menimbulkan intranuklear inklusion bodi yang meluas. Virus terbagi dalam 3 grup antigen, yang masing-masing dapat dideteksi melalui Uji Agar Gel Presipitasi Test (AGPT) dan Neutralisasi Test (NT). Setiap serotipe mempunyai antigen yang khusus dan tidak ada kaitan antigen antara adenovirus pada ayam dan adenovirus pada mamalia (Manual Penyakit Unggas, Kementan, 2012). Kematian mendadak sering terjadi pada ayam umur kurang 6 minggu, angka kematian biasanya lebih dari 7%. Kejadian penyakit sering diikuti oleh infeksi penyakit lain yang disebabkan oleh bakteri, jamur dan virus.
Penularan penyakit terjadi secara horisontal dan vertikal. Secara horizontal bisa melalui kotoran (feses), makanan, air atau minuman dan lingkungan yang tercemar virus atau langsung dari ayam sakit ke ayam sehat. Secara vertikal ditularkan dari induk ke anaknya melalui telur. (Manual Penyakit Unggas, Kementan, 2012). Karena sifat virusnya tahan terhadap lingkungan maka kemungkinan virus dapat menyebar secara perlahan-lahan dari satu kandang ke kandang lainnya.
Penyebaran penyakit melalui pernapasan belum banyak diketahui walaupun pernah diisolasi virus dari ayam yang terinfeksi penyakit pernapasan. Infeksi yang tidak menunjukkan gejala klinis diduga dapat menjadi agen penyebar penyakit terutama pada ayam yang terganggu sistem kekebalannya. Penyakit ini telah menyebar ke seluruh dunia, kejadian penyakit pernah dilaporkan di Kanada, Amerika, Inggris, Italia, Irak dan Australia. Virus ini akhirnya dapat diisolasi dari beberapa peternakan ayam di India. Penyakit ini pernah ada hampir di semua daerah di Indonesia, dan pernah didiagnosa secara histopatologi dari ayam ras petelur.
Hampir semua infeksi Adenovirus tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas. Jengger kelihatan pucat, pial dan kulit muka juga pucat, depresi, lemah dan kemungkinan diikuti dengan penyakit lainnya. Gangguan pernapasan sering terjadi pada anak ayam dan pada ayam dewasa kadang terjadi penurunan produksi telur. Hepatitis dapat terjadi pada 4 hari pasca infeksi, sumsum tulang, hati dan beberapa organ lainnya terlihat pucat.
Morbiditas lebih rendah daripada mortalitas, hewan yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas tetapi hanya beberapa jam kemudian mati. Kematian meningkat selama 3-5 hari, bertahan selama beberapa hari kemudian menurun, angka kematian mencapai 10%. Perubahan patologi anatomis yang terlihat antara lain hati membengkak berwarna kuning kecoklatan, terdapat bercak, perdarahan, ptechiae dan echymotic di bawah membran dan dalam parenchyma, serta konsistensinya lembek. Ginjal tampak pucat dan bengkak serta perdarahan. Limpa dan bursa fabricius mengecil. Otot dada dan kaki terlihat ikhterus dan perdarahan, usus dan alat visceral juga terlihat kemerahan. Beberapa ayam terlihat adanya aplasia dari sumsum tulang dan terjadi anemia.
Isolasi dilakukan dengan menggunakan biakan sel chicken embryo fibroblast (CEF) atau telur ayam berembrio umur 5-7 hari yang disuntikkan lewat kuning telur. Identifikasi dapat dilakukan dengan fluerescent antibody technique (FAT) baik langsung maupun tidak langsung atau secara serologi dengan metode VNT (Virus Neutralisasi test), agar gel presipitasi test (AGPT), atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik terhadap adanya peningkatan degenerasi dan nekrosis pada hati dan intra-nuclear inclusion body dalam sel parenkim (Manual Penyakit Unggas, Kementan, 2012).
Seperti pada penyakit yang disebabkan virus lainnya, belum ada pengobatan untuk penyakit ini, antibiotika diberikan untuk mencegah infeksi sekunder oleh bakteri. Sulfonamide akan menjadi kontra indikasi jika ayam menunjukkan adanya penyakit hematologi atau menunjukkan adanya immunosupresi (Manual Penyakit Unggas, Kementan, 2012).
Pada kasus terjadi outbreak, sebaiknya ayam yang terinfeksi diberikan vitamin suportif untuk memperkuat daya guna hati (hepatoprotektor) seperti ekstrak herbal kunyit dan temulawak yang diberikan secara rutin sampai kematian mereda, pemberian pakan yang premium dan penggunaan desinfektan dengan kandungan Iodine dan atau Glutaraldehida untuk desinfeksi kandang dan areal sekitarnya akan sangat membantu menurunkan kematian akibat infeksi virus ini, penggunaan antibiotika sebaiknya dihindarkan (Penanganan Kasus Outbreak IBH Magetan, drh. Doni EH).
Pencegahan infeksi paling baik dilakukan dengan praktik manajemen yang optimal, meliputi sanitasi/desinfeksi yang ketat. Vaksinasi dilakukan pada ayam pembibit dalam waktu 3-4 minggu sebelum bertelur untuk mencegah penularan vertikal dan untuk memberikan maternal antibodi kepada anaknya, agar tahan terhadap infeksi awal masa hidupnya (Manual Penyakit Unggas, Kementan, 2012).
Sumber: poultryindonesia.com