
Sumber Gambar: poultryindonesia.com
Alatternakayam – Perkembangan peternakan ayam ras pedaging (broiler) di Indonesia sangat meningkat pesat, termasuk di Palangka Raya, Kalimantan Tengah dalam kurun waktu 2013-2017. Hal ini terbukti dengan pemenuhan kebutuhan daging broiler di Palangka Raya dan sekitarnya yang sudah mencapai 24 ton per hari atau sekitar 12.000 ekor. Menurut data Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Tengah (2015), angka ini mengalami peningkatan hingga 30% jika dibandingkan dengan kebutuhan pada tahun 2011.
Amonia merupakan substansi yang toksik yang dapat menimbulkan gangguan pernapasan bagi manusia maupun hewan. Kontrol amonia dalam kandang diperlukan untuk menekan angka kematian pada ayam.
Seiring dengan perkembangan kebutuhan daging ayam tersebut, masalah lingkungan yang dikaitkan dengan jumlah kotoran yang dihasilkan turut mengikuti, seperti polusi udara. Masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi peternakan broiler merasa terganggu oleh munculnya aroma tidak sedap yang ditimbulkan, terutama pada ayam yang berumur 25-40 hari. Hal ini disebabkan jumlah kotoran yang dihasilkan ternak unggas yang setiap harinya selalu bertambah seiring dengan bertambahnya umur ayam. Sebagai gambaran, kotoran ternak yang dihasilkan untuk setiap ekor ayam hingga umur panen mencapai 0,5-0,8 kilogram per ekor atau setara dengan 4.000 kilogram per 5.000 ekor ayam. Angka ini akan semakin membesar jika dikalikan dengan jumlah kandang yang ada di lokasi peternakan.
Lokasi peternakan memang idealnya didirikan di tempat yang relatif jauh dari permukiman sehingga tidak mencemari lingkungan daerah sekitar. Faktanya, dengan pertumbuhan penduduk yang semakin cepat dan berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan permukiman, lambat laun permukiman bergeser mendekati lokasi peternakan. Hal ini merupakan permasalahan umum yang sering kali menimpa peternak dan investor yang menanamkan modalnya dalam sektor perunggasan.
Gambaran umum saat ini, bahwa jarak terdekat antara permukiman dengan lokasi ternak hanya sekitar 50-350 meter. Jarak ini sangatlah dekat untuk terkena dampak pencemaran udara yang bersumber dari kotoran ayam. Kondisi ini diperburuk dengan arah angin yang dapat membawa bau amonia ke permukiman yang lebih jauh. Solusi jangka panjang untuk permasalahan ini yaitu relokasi dengan mencari lokasi baru dan membangun kandang-kandang yang baru, namun hal tersebut tidak ekonomis bagi peternak mandiri yang memiliki modal terbatas, mengingat untuk membangun kandang baru dengan kapasitas 5.000 ekor beserta kelengkapannya dapat menelan biaya sekitar Rp165 juta. Biaya ini pun belum termasuk harga tanah. Perlu dibangunnya pemikiran konstruktif untuk mengatasi masalah ini karena jika aktivitas pemeliharaan broiler dihentikan, maka pasokan daging ayam di pasaran tentu akan turun.
Amonia (NH3) merupakan substansi yang sangat beracun untuk berbagai organisme. Dampak negatif yang ditimbulkan amonia pada manusia dan hewan khususnya ayam yaitu gangguan pernapasan. Amonia juga berpengaruh pada tumbuh kembang ayam dan kematian yang tinggi terjadi pada umur 30-40 hari, hal ini disebabkan tingginya intensitas bau dari bawah kandang yang menjadi tempat terkumpulnya kotoran ayam. Permasalahan ini diperlukan adanya solusi penyelesaian agar dapat menekan angka kematian yang terjadi pada setiap periode pemeliharaan.
Secara spesifik, munculnya amonia ini disebabkan oleh urea dan asam urat (C5H4O3N4) sebagai produk akhir metabolisme purin dari hasil kotoran ayam yang belum ditangani dengan baik. Sebagai contoh, kandang panggung yang berada di Palangka Raya memungkinkan kotoran ayam akan langsung jatuh ke tanah dan bercampur dengan unsur hara di dalamnya, sehingga lambat mengering dan menimbulkan bau amonia yang beracun bagi ayam.
Tajamnya bau amonia yang dihasilkan dari kotoran ayam juga dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter dalam reaksi nitrifikasi, yaitu proses diubahnya senyawa amonia menjadi nitrit (NO2–) menjadi nitrat (NO3–). Bakteri ini banyak terkandung dalam tanah yang subur, di mana tumbuhan mengalami proses nitrifikasi secara alami, akan tetapi pada lahan gambut yang memiliki tingkat zat hara dan kesuburan yang kurang, serta kelembapan yang tinggi karena kondisi tanah berair sepanjang tahun dengan kondisi pH berbeda di setiap tempat, sehingga tanah tidak dapat memproses amonia dengan maksimal ketika kotoran ayam yang telah berubah menjadi amonia ini jatuh ke tanah karena bereaksi dengan air dan udara. 1) Dosen program studi Fisika, Universitas Palangka Raya, 2) Dosen program studi Peternakan, Universitas Palangka Raya
Baca Juga: Sesuaikan Ragam Jenis Pemanas dengan Kebutuhan Kandang
Sumber: poultryindonesia.com