Mengancam peternakan ayam sepanjang tahun dan kasus penyakit yang biasa disebut snot ini bisa meningkat dipicu perubahan cuaca yang ekstrem. Program vaksinasi, biosekuriti yang ketat termasuk memperhatikan ventilasi dan kelembapan kandang menjadi jalan untuk mencegah terjadinya kasus penyakit ini
Alatternakayam – Kondisi tubuh ayam turut dipengaruhi oleh fenomena pemanasan global yang kerap menimbulkan stres, selanjutnya akan mempengaruhi sistem imun, dan berakibat pada rentannya ayam terhadap infeksi penyakit termasuk coryza. Bagi peternak broiler (ayam pedaging) maupun layer (ayam petelur), sudah tidak asing lagi dengan penyakit coryza atau biasa disebut snot dan pilek.
Coryza merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan menyerang sistem respirasi ayam. Tentunya hal ini sangat mengganggu kegiatan budidaya, apalagi jika penanganannya tidak segera sehingga akan menginfeksi ayam-ayam lainnya.
Peternak broiler yang memiliki farm di Sukabumi, Jawa Barat, Setya Winarno menjabarkan, pada beberapa kandang di area lembap dengan tipe kandang terbuka (open house), dalam kurun waktu setahun terakhir ini sempat muncul penyakit coryza di kandang, terlebih saat musim hujan. “Jika di kandang tertutup (closed house), kejadiannya relatif lebih kecil atau sangat kecil. Demikian pula untuk kejadian di musim kemarau pun relatif jarang terjadi,” cetusnya pada TROBOS Livestock.
Ia mengaku riwayat penyakit di internal peternakannya tergantung dari lokasi dan tipe kandang. Salah satu penyakit yang pernah terjadi kebobolan adalah coryza. Ia mengisahkan, saat itu coryza menyerang ayam pada usia di atas tiga pekan.
Ditemui di lokasi berbeda, Suhardiman yang merupakan peternak layer di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat menyatakan sangat peduli terhadap pengelolaan kandang. “Saya sangat fokus terhadap manajemen kandang, terlebih mengenai sirkulasi udaranya. Sangat penting untuk memperhatikan lingkungan kandang supaya ayam merasa nyaman,” ungkap peternak yang memiliki ayam dengan populasi sekitar 26.000 ekor ini.
Suhardiman mengelola tiga farm ayam petelur sekaligus di tiga lokasi yang berbeda bersama dengan adiknya. Ketika ditemui di lapangan, kondisi kandang miliknya tidak mengeluarkan bau serta tidak terlihat satu pun adanya lalat. Tak heran jika ayam yang dipeliharanya jarang sekali terinfeksi penyakit, termasuk coryza.
Penyebab Utama
Berdasarkan pengalaman Winarno di lapangan, penyakit coryza disebabkan oleh berkembang pesatnya bakteri Haemophilus paragallinarum. Bakteri tersebut bersifat anaerob fakultatif, yaitu bakteri yang dapat hidup dengan baik, dengan oksigen atau tanpa oksigen. Bakteri tersebut akan berpesta pora pada saat kondisi kandang lembap disertai dengan kandungan oksigen yang rendah oleh buruknya ventilasi udara di dalam kandang.
Suhardiman sependapat, penyakit coryza merupakan salah satu penyakit pada unggas, terutama ayam, yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit coryza ini dipicu oleh bakteri dan dapat menyebabkan kerugian secara finansial maupun kesehatan ayam itu sendiri. “Penyakit coryza dapat menyerang ayam di segala usia. Lebih parahnya lagi, bila coryza menyerang ayam yang sedang bertelur. Sehingga, dapat menurunkan produksi kurang lebih 10 – 40 %,” keluh pria yang kerap disapa Daman ini.
Menurut penjelasan dari Technical Service Manager (Poultry) PT Boehringer Ingelheim Indonesia, Titis Wahyudianto, penyakit coryza disebabkan oleh bakteri Avibacterium paragallinarum (Ap), dulu Haemophilus paragallinarum, yang merupakan bakteri gram negatif, pleomorfik, non-motil, katalase-negatif, dan batang mikroaerofilik. Kelompok ayam yang terinfeksi akan menjadi ancaman bagi kelompok ayam yang sehat. Transmisi penyakit bisa melalui kontak langsung, droplet di udara maupun kontaminasi air minum.
Animal Health Technical Manager PT Nutricell Pacific, Nofitra Dewi Suparno Putri turut berpendapat, penyebab utama penyakit coryza adalah bakteri Avibacterium paragallinarum yang membutuhkan nicotinamide adenine dinucleotide (V-factor) guna pertumbuhan in vitro. “Penyakit ini menyerang saluran pernapasan bagian atas dan menyebabkan kebengkakkan pada sinus, konjungtivitis, leleran pada oculonasal dan edema yang secara umum menyerang seluruh tipe unggas, terutama pada layer periode grower atau pada saat produksi dan dapat juga terjadi pada ayam breeder dan broiler. Di Indonesia ditemukan 3 serovar Avibacterium paragallinarum penyebab coryza yang patogen yaitu serovar A, B dan C,” ujarnya.
Transmisi penyakit ini, lanjut Nofitra, terjadi melalui kontak langsung, aerosol, atau melalui konsumsi pakan dan air yang terkontaminasi. Masa inkubasi penyakit ini yaitu 1 – 3 hari dengan durasi penyakit 14 – 21 hari pada individu yang terinfeksi, sehingga semakin lambat penyebarannya, maka durasi kejadian penyakit coryza akan semakin panjang. Kehadiran infeksi pernapasan lain, seperti Mycoplasma, akan meningkatkan durasi dan tingkat keparahan pada ayam yang sakit, yang akan berdampak pada pertumbuhan dan produksinya.
“Bakteri Avibacterium paragallinarum merupakan bakteri gram negatif, berkapsul, tidak membentuk spora dan hidup dengan suasana fakultatif anaerob, serta cepat inaktif apabila berada di luar tubuh hospes. Avibacterium paragallinarum juga menyukai lokasi sinus infraorbitalis, yang tinggal dalam jangka waktu lama dan sulit untuk dihilangkan. Dampaknya, penyakit coryza selalu berulang, terutama terjadi pada saat cuaca kurang baik dan daya tahan tubuh ayam menurun,” beber Marketing Manager PT Tekad Mandiri Citra (TMC), Sugiyono Hadi Wijaya.
Kasus Sepanjang Tahun
Medion Technical Education & Consultation, Christina Lilis menelaah lebih jauh terkait penyakit coryza pada ayam di Indonesia yang masih cukup tinggi. Penyakit coryza pada broiler menduduki peringkat ke-5 dari penyakit yang menyerang ayam, walaupun pada 2018 dan semester 1, 2019 ini kasusnya menurun jika dibandingkan dengan 2017. Tetapi penyakit ini tetap tidak bisa diabaikan, sebab angka kejadiannya pun masih cukup tinggi dan sebagai informasi bahwa dalam 10 besar peringkat penyakit pada broiler, didominasi oleh penyakit yang disebabkan oleh bakteri.
Berbeda dengan broiler, penyakit coryza pada layer tidak pernah absen dari 5 besar peringkat kejadian penyakit di Indonesia. “Jumlah kejadian kasus coryza meningkat cukup signifikan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Dalam kurun waktu tersebut, penyakit coryza menduduki peringkat pertama yang menyerang ayam petelur selama semester 1, 2019,” papar Christina.
Di samping itu, hampir setiap tahun terjadi kasus infeksi coryza, baik pada broiler maupun layer. Kejadian ini lebih banyak terjadi pada layer dibandingkan pada broiler. Technical Support Marketing Manager PT Mensana Aneka Satwa, Arief Hidayat mengemukakan infeksi coryza memiliki sifat tidak mewabah, namun terjadi hanya di beberapa tempat. Kejadiannya hampir dapat dipastikan mengikuti pola yang mengakibatkan timbulnya faktor predisposisi terjadinya penyakit ini, seperti pada saat pergantian musim atau adanya berbagai faktor yang menyebabkan stres, misalnya cuaca, lingkungan kandang, nutrisi, perlakuan vaksinasi serta berbagai penyakit yang menyebabkan imunosupresif. Penyakit ini kerap muncul dalam waktu yang bersamaan pada saat terjadinya pergantian musim, ditunjang dengan manajemen pemeliharaan serta kesehatan yang kurang baik.
Dipicu Musim Hujan
Kondisi cuaca saat ini sangatlah tidak menentu. Pada akhir September 2019 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis laporan perubahan cuaca dan pemanasan global, yang mengungkap bahwa 2019 menjadi tahun ’terpanas’ dalam periode lima tahun terakhir, sehingga sampai dengan pertengahan Oktober, Indonesia mengalami kemarau panjang. “Hal ini menyebabkan prevalensi beberapa penyakit, terutama coryza yang cenderung lebih rendah dari tahun sebelumnya. Namun demikian, kita tetap tidak boleh lengah terhadap penyakit ini, karena coryza termasuk dalam 10 besar penyakit yang menyerang ayam, baik pada layer atau pun broiler,” terang Nofitra seraya memperingatkan.
Indonesia merupakan negara tropis dengan kelembapan udara relatif (RH/Relative Humidity) di atas 60 %. Menurutnya, kondisi ini sangat cocok dengan penyakit coryza, sehingga penyakit ini sering muncul terutama pada saat musim hujan dan pancaroba. Beberapa tahun lalu, sebelum terjadi perubahan cuaca yang ekstrem, coryza bisa dikatakan memiliki pola, prevalensi kasus coryza biasanya sangat tinggi pada rentang September hingga Februari.
Sedangkan Titis menilai tidak ada pola khusus terhadap munculnya kasus coryza. Ini berhubungan dengan kontrol manajemen kandang yang kurang bagus. Jikalau sering muncul, umumnya terjadi di awal sampai puncak musim hujan, karena kelembapan kandang yang tinggi disertai kandungan oksigen yang rendah dan seharusnya sudah bisa diantisipasi oleh peternak dengan mengoptimalkan ventilasi serta menekan kadar amonia di dalam kandang.
“Cuaca saat ini sangat berhubungan dengan kondisi pemanasan global, yaitu udara relatif lebih tinggi. Apabila ventilasi tidak bagus dan aliran udara mati, maka kadar amonia akan meningkat dan bertahan di dalam kandang. Akhirnya, akan merusak sel-sel epitel selaput lendir alat pernapasan bagian atas,” imbuh Titis.
Ia melanjutkan, kadar amonia yang tinggi juga akan mengurangi kadar oksigen di dalam kandang. Sehingga, bakteri Avibacterium paragallinarum sebagai agen penyebab coryza akan lebih mudah tumbuh dan bertahan lama di lokasi peternakan. Pemanasan global pun mempengaruhi kondisi tubuh ayam, sering menimbulkan stres, dan selanjutnya akan mempengaruhi sistem imun ayam, yang berakibat pada rentannya ayam terhadap infeksi penyakit termasuk coryza.
Christina memperjelas, berdasarkan data tim Technical Education & Consultation (TEC) Medion, diketahui tren kasus coryza meningkat di musim hujan maupun peralihan cuaca (pancaroba), selain itu kondisi lingkungan kandang yang lembap pun mendukung bakteri coryza untuk berkembang cukup pesat. “Pada Maret trennya menurun dibandingkan Januari dan Februari, kemudian meningkat kembali pada April sampai Mei dan berangsur meningkat kembali sampai puncaknya di November. Sehingga, peternak perlu mewaspadai peningkatan kasus coryza pada musim-musim basah atau pancaroba yang menyebabkan ayam mengalami stres dan kondisi ayam menurun,” jabarnya.
Manifestasi Coryza
Manifestasi dari penyakit coryza secara klinis, dikatakan Winarno, muncul dengan diawali adanya gangguan pernapasan pada fase awal. Jika diperhatikan, mata tampak sembab dan ayam beberapa kali bersin. Di fase lanjut akan terlihat kepala ayam bengkak disertai dengan adanya cairan yang berbau pada hidung.
“Pada fase lanjut, umumnya akan diikuti oleh penurunan napsu makan. Hal ini akan berdampak pada pertambahan bobot badan (PBB) harian, sehingga membuka peluang penyakit lain masuk dalam tubuh ayam. Selanjutnya diikuti oleh kematian ayam yang di tinggi di kandang,” sesal Winarno.
Begitu pula dengan Suhardiman yang menginformasikan, gejala-gejala klinis penyakit ini ditandai dengan keluarnya cairan dari hidung, muka bengkak di bawah kulit dan terkadang ayam kesulitan untuk bernapas. Ia mengasumsikan, penyakit ini merupakan komplikasi dengan penyakit lain seperti fowl pox, mycoplasma (CRD), newcastle disesase (ND), infectious bronchitis, serta infectious laryngotracheitis (ILT).
Menurut pandangan Sugiyono, masa inkubasi penyakit coryza yaitu 24 – 48 jam hingga 72 jam, dengan lama penyakit 6 – 14 hari pada broiler serta 4 – 12 pekan pada layer. “Pada ayam dewasa, masa inkubasi biasanya lebih pendek, tetapi proses penyakitnya cenderung lebih lama, dengan gejala klinis yang muncul adalah batuk, bersin, terdapat leleran serous sampai mukus dari rongga hidung, pembengkakkan pada daerah mata dan konjungtivitis. Jika proses penyakit berlanjut, eksudat akan berubah menjadi kental (mukopurulen hingga purulen) dan berbau busuk, kelopak mata terlihat kemerahan yang menyebabkan mata menjadi tertutup, sehingga kumpulan eksudat tersebut akan menyebabkan pembengkakkan di daerah fasial (wajah) dan sekitar mata,” sebutnya.