Setahun berlalu sejak terbitnya Permentan No.17/2017 tentang klasifikasi obat hewan. Salah satu poin dalam peraturan tersebut yakni dilarangnya Antibiotic Growth Promoter (AGP) ke dalam pakan ternak. Banyak hal yang terjadi di lapangan, baik dalam hal teknis maupun dari segi bisnis. Apa saja perkembangan yang terjadi sejak pelarangan tersebut?.
Permentan no 14/2017 bisa dikatakan sebagai Permentan yang paling menghebohkan di jagat peternakan nasional. Judul Permentan tampak sederhana “ Klasifikasi Obat Hewan”. Sekilas terkesan sekedar sebuah aturan penggolongan saja yang hanya berdampak pada pengelompokan dalam bidang keilmuan. Namun di dalamnya ada pasal yang membuat industri obat hewan, pakan dan budidaya perunggasan harus melakukan perubahan yang signifikan. Tak heran jika proses penerbitan peraturan ini membutuhkan diskusi yang cukup panjang dan alot. Utamanya pada poin pelarangan AGP di dalam pakan.
Ketika dikonfirmasi oleh Infovet, Direktur Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Drh. I Ketut Diarmite mengatakan bahwa pemerintah mengambil langkah tersebut untuk melindungi hewan, masyarakat, dan lingkungan. “Penggunaan antibiotik sebagai growth promoter memang kita stop, tapi untuk medikasi masih boleh,” tukas Ketut.
Ia melanjutkan, menurut beberapa kajian yang telah dilakukan oleh para ahli baik di dalam dan luar negeri penggunaan AGP dapat memacu resistensi antimikroba pada ternak selain dan menimbulkan efek residu pada produk peternakan yang berbahaya bagi kesehatan manusia.“Intinya peraturan ini juga sudah diaturdi Undang –Undang peternakan dan pemerintah berniat pula menjalankan amanat itu,” tutur Ketut.
Ketut juga menyadari bahwa langkah yang diambil oleh pemerintah sudah barang tentu akan menimbulkan pro dan kontra di dunia peternakan Indonesia khususnya unggas karena AGP paling banyak digunakan didalam pakan unggas, oleh karenanya ia selalu berusaha untuk terbuka, mendekatkan diri, berdiskusi dan menerima saran serta kritikan yang konstruktif dalam menanggapi permasalahan ini.
Kekhawatiran Akan Performa Ternak
Menyoroti pelarangan AGP tersebut, Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Ternak (GPMT) Drh. Desianto Budi Utomo berpendapat bahwa fine – fine saja melarang AGP tetapi harus berdasarkan kajian yang mendalam. “Maksud saya begini, Indonesia lain dari negara – negara barat sana, kita ini negara beriklim tropis, tahu sendiri lah bagaimana risikonya tinggal di negara tropis,” pungkasnya. Negara dengan iklim tropis kata Desianto, berisiko lebih tinggi terhadap penyakit infeksius karena iklim tropis mendukung mikroorganisme untuk tumbuh.
Ia melanjutkan bahwa para integrator besar bisa saja menyiasati penggunaan antibiotik karena teknologi dan manajemen yang lebih modern dan canggih, namun bagaimana dengan para peternak kecil yang mungkin akan kerepotan karena masih menggunakan cara tradisional. “Pelarangan AGP ini kan bukan cuma soal medis, tapi ada dampak di sisi non-medisnya, ekonomi misalnya, kan jadi nambah cost pemeliharaan, apakah pemerintah berpikir sampai kesitu?,” kata Desianto.
Selain itu, Desianto berujar bahwa pemerintah juga tidak boleh hanya melarang saja, tetapi juga harus ikut berperan mengawasi pelarangan AGP ini. “Saya berharap pemerintah aktif melakukan pengawasan, bisa saja nanti ada pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab karena merasa tidak diawasi dia tetap pakai AGP, sementara yang lain tidak pakai, kan tidak fair. Intinya jangan sampai kebijakan yang diambil menimbulkan masalah baru,” tutur Desianto.
Sejak jauh hari, GPMT telah melakukan riset mengenai hal tersebut, hasilnya sebagaimana terlihat pada Tabel 1. di bawah ini :
Tabel 1. Hasil trial penggunaan AGP dan non AGP pada broiler
(Sumber : GPMT, 2017) |
Dari data dapat disimpulkan bahwa penurunan performa akan terjadi ketika penggunaan AGP distop. Ternyata kekhawatiran akan penurunan performa terbayar kontan, beberapa peternak unggas baik broiler dan layer di seluruh Indonesia mengeluhkan kebijakan tersebut. Seperti yang dikeluhkan Wahidin, peternak broiler asal Demak, Jawa Tengah. Sejak menggunakan pakan non-AGP, ayam – ayam di kandangnya tumbuh lebih lambat dan sering sakit. “Berkali – kali kena nyekrek (ngorok) Mas, sudah dua periode begini, sudah gitu lebh lambat naik bobot badannya,” Kata Wahidin.
Hal yang serupa dirasakan oleh beberapa peternak layer di Jawa Timur, sejak dilarangnya AGP performa produksi dari ayam – ayam petelur menurun. Selain itu ayam juga rentan sakit. Penurunan performa kemudian berimbas pada harga telur yang sempat naik dan menjadi pemberitaan di media – media mainstream beberapa waktu yang lalu, dilarangnya AGP ditengarai menjadi biang keladi dari semua persoalan tersebut.
Mencari Solusi Kesana-Kemari
Sebenarnya jauh hari sebelum AGP dilarang di Indonesia, berbagai subtituen pengganti AGP telah banyak ditemukan dan digunakan di seluruh dunia. Misalnya saja herbal, enzim, probiotik & prebiotik, asam organik, essential oil dan bahkan bateriofag. Namun begitu, tetap saja dari segi performa bisa dibilang tidak sebaik AGP. Selain itu, faktor cost menjadi pertimbangan lain yang membuat para formulator di pabrik pakan harus lebih sering memutar otak. Pasalnya harga subtituen AGP jauh lebih mahal daripada AGP.
Intan Mustika Herfiana formulator PT. Agrosari Nusantara telah mengujicoba beberapa jenis produk subtituen AGP dalam formulanya, menurutnya hasil yang didapat memang belum bisa sebaik AGP. “Misalnya probiotik, ketika saya pakai itu hasilnya bias. Ketika saya coba di kandang closed house hasilnya bagus, tetapi ketika saya coba di kandang tradisional hasilnya lebih sering kurang bagus, jadi bingung sendiri karena sebenarnya ini faktor kandang atau faktor AGP-nya?,” pungkas wanita yang akrab disapa Ika tersebut.
Closed house atau sistem kandang tertutup juga bisa dibilang solusi dalam meningkatkan performa. Hal tersebut karena di dalam closed house, peternak dapat mengontrol semua parameter seperti suhu, iklim, pencahayaan, kelembapan dna lain sebagainya sehingga performa ayam tetap baik. Namun sayang, pembangunan closed house memakan biaya yang besar dan peternak – peternak tradisional sulit menjangkaunya, terlebih lagi dengan harga ayam yang sangat fluktuatif. Mereka masih berpikir keras untuk mendirikan closed house, apalagi kalau – kalu ditengah jalan tiba-tiba harga ayam turun, selain keuntungan mereka berkurang, beban tanggungan mereka akan bertambah karena cicilan pembangunan closed house.
Solusi lain dalam mengakali performa adalah peningkatan biosekuriti di dalam peternakan. FAO ECTAD Indonesia beberapa tahun belakangan gencar dalam mengampanyekan konsep biosekuriti tiga zona. Alfred Kompudu selaku National Technical Advisor FAO ECTAD memaparkan bahwa selama ini peternak kesulitan dan tidak memahami dengan baik konsep biosekuriti, sehingga abai akan hal tersebut. Padahal penerapan biosekuriti adalah suatu kewajiban dalam peternakan khususnya unggas.
“Kami dalam beberapa tahun ini melakukan pendekatan kepada para peternak dengan cara yang lebih santai dan casual, kami tidak ajak mereka seminar atau workshop atau yang lain – lain, kami ajak mereka agar mau menambah keuntungan, akhirnya pelan – pelan mereka mau,” papar Alfred. Ia mengakui bahwa usaha yang dilakukan timnya tidak mudah dan cukup alot, namun begitu beberapa peternak yang menyadari akan pentingnya biosekuriti secara perlahan tapi pasti mulai mengadopsi konsep yang lantang digaungkan oleh FAO.
“Beberapa peternak di Jawa Tengah, Lampung, dan daerah lainnya sudah mengadopsi. Dari yang sederhana sampai cukup mewah, yang ingin kita sampaikan pada peternak adalah biosekuriti itu wajib dan tidak harus yang mewah / mahal. Ada kok di Ungaran sana peternak yang biosekuriti tiga zonanya sederhana banget, tapi performa ternaknya tetap stabil,” pungkas Alfred.
Ketika ditanya mengenai sisi ekonomi dari penerapan biosekuriti, Alfred menjabarkan lebh jauh hal tersebut. Ia mencontohkan misalnya pada peternakan layer, imbas dari penerapan biosekuriti tiga zona selain menaikkan performa, produk yang dihasilkan juga jadi punya added value. “Di Lampung kami bekerja sama dengan Dinas setempat agar peternak yang sudah menerapkan biosekuriti tiga zona direkomendasikan untuk mendapatkan sertifikat Nomor Kontrol Veteriner (NKV), sertifikat ini adalah jaminan bahwa produk yang dihasilkan sudah aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Produk yang ber-NKV ini juga dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi ketimbang produk biasa,” tukas Alfred. Jadi dengan memiliki NKV, selain dapat dijual di pasar becek, peternak juga punya kesempatan agar produknya dapat dijual ke modern market sehingga walaupun ada cost untuk investasi biosekuriti adapula output yang dihasilkan.Walaupun begitu nampaknya Alfred dan timnya masih harus berjuang lebih keras karena konsep sebaik itupun masih sulit diterima oleh peternak, karena masih banyak peternak enggan mengeluarkan cost lebih.
Dampak Sisi Bisnis Obat Hewan
Ketika banyak pihak yang khawatir dengan pelarangan AGP. Dampak buruk terhadap performa rupanya telah banyak yang memikirkan matang – matang. Beberapa perusahaan obat hewan sudah melakukan antisipasi terhadap pelarangan ini sehingga ketika pelarangan diberlakukan mereka sudah menyiapkan produk substitusinya.
Seorang narasumber Infovet di sebuah perusahaan obat hewan multinasional mengatakan, ketika ada isu yang berhembus tentang terbitnya peraturan baru tersebut dari jauh hari, pihaknya langsung mempelajari isinya dan memberikan informasi ke pihak mitra di luar negeri bahwa di dalam peraturan baru tadi ada pasal yang menyebutkan bahwa AGP akan dilarang di Indonesia.
Informasi ini sangat berharga bagi perusahaan tersebut, mereka kemudian melakukan sejumlah riset agar bisa meluncurkan produk pengganti AGP. Tahun 2018 ketika pelarangan diberlakukan, perusahaan ini sudah siap melakukan registrasi produk baru. Ini adalah contoh bagus dimana perusahaan harus mencermati perkembangan peraturan di Indonesia dan melakukan antisipasi atas rencana pemerintah dalam memberlakukan peraturan baru.
Banyak pihak mengatakan Indonesia belum siap untuk memberlakukan pelarangan AGP, namun sebenarnya kalau dihitung sejak terbit UU Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2009, berarti ada waktu 8 tahun untuk persiapan pelarangan AGP, karena pelarangan baru diberlakukan Januari 2018 melalui Permentan tahun 2017. Mungkin ada yang mengira bahwa pelarangan AGP tidak akan “secepat“ ini karena beberapa negara lain juga belum memberlakukannya. Sejak pelarangan AGP diberlakukan awal tahun 2018, beberapa perkembangan dalam industri peternakan di sektor hulu dan hilir terjadi.
Seperti yang disebutkan tadi di atas, dilarangnya AGP memunculkan banyak produk baru sebagai pengganti. Produk-produk yang beredar di pasaran sebagai pengganti AGP adalah sediaan alami (jejamu), probiotik, prebiotik, enzim, asam organic (acidifier) dan lain sebagainya. Data Direktorat Kesehatan Hewan menunjukkan, sebelum tahun 2017 terdapat 294 produk imbuhan pakan dalam kategori non AGP.
Selanjutnya tahun 2017 terjadi banyak penambahan registrasi baru produk pengganti AGP, yaitu 21 produk enzim, sediaan alami dan acidifier. Terdapat pendaftaran 31 produk yang semula indikasinya sebagai feed additive (sebagai AGP), berubah indikasi menjadi kategori farmasetik (kuratif). Perubahan ini dalam istilah registrasi obat hewan dikenal dengan istilah perubahan “F ke P”. Selain itu ada juga pendaftaran 3 produk vaksin Koksidiosis, yang semula (sebelum pelarangan AGP), produk ini belum populer.
Direktur Kesehatan Hewan Drh Fajar Sumping Tjatur Rasa mengatakan, tidak perlu khawatir dengan pelarangan AGP karena produk penggantinya sudah cukup banyak, dan terus bertambah. Data terbaru (2018) dari Ditkeswan menunjukkan, saat ini sudah ada 104 jenis enzim yang sudah mendapat nomor registrasi, 66 produk kategori asam organik, 85 produk probiotik dan prebiotik, dan 36 produk obat alami. Sebagaimana terlihat pada diagram 1 di bawah ini :
Diagram 1 Produk pengganti AGP yang terdaftar di DItjen PKH
(Sumber : Direktorat Kesehatan Hewan, 2018) |
Market Obat Hewan Melonjak
Ternyata Dilarangnya AGP juga menyebabkan market obat hewan yang beredar meningkat tajam. Data yang dirilis ASOHI pada acara Seminar Nasional Bisnis Peternakan yang berlangsung akhir 2018 lalu menyebutkan, nilai market obat hewan golongan feed additive dan feed supplement tahun 2018 diperkirakan sebesar Rp 8,5 triliun , meningkat 75% dibanding tahun 2017 sebesar Rp 4,8 triliun. Baru pertama dalam sejarah, pertumbuhan market obat hewan sebesar itu. Datanya sebagaimana terlihat dalam Tabel 2., Tabel 3. di bawah ini.
Tabel 2. Market Obat Hewan Golongan Feed Additive Tahun 2017
Tabel 3. Market Obat Hewan Golongan Feed Additive Tahun 2018
(Sumber : ASOHI, 2018)
ASOHI juga menyebut, secara total market obat hewan tahun 2018 sebesar Rp 13,8 triliun, naik 65% dibanding tahun 2017 sebesar Rp 8,4 triliun. Penyebab kenaikan tinggi (melebihi pertumbuhan populasi) ini disebabkan oleh peningkatan revisi data populasi, adanya pelarangan AGP yang menyebabkan biaya pakan meningkat, serta adanya pelemahan kurs rupiah sehingga harga obat hewan naik.
Walaupun banyak menuai kontroversi pada awal diberlakukannya kebijakan pelarangan AGP, namun ada dampak yang cukup signifikan dari sisi ekonomi. Namun begitu, penerapan pelarangan AGP masih perlu dibenahi, misalnya saja meningkatkan kesadaran peternak terhadap resistensi dan residu antimikroba yang tidak hanya membahayakan hewan, tetapi juga manusia dan lingkungan.
Pemerintah, swasta, dan stakeholder lainnya juga tidak boleh abai dengan peternak, mereka juga tetap harus didampingi, diawasi dan dibina. Jangan hanya menikmati keuntungan saja akibat naiknya nilai market obat hewan, adalah kewajiban bagi semua stakeholder dalam berkontribusi memajukan sektor peternakan di Indonesia
Baca Juga: Hati-Hati Dalam Memanfaatkan Manur Sebagai Pupuk
Sumber: majalahinfovet.com