Tingkat kejadian AI di tanah air pasang surut dan sepanjang tahun lalu diklaim mengalami penurunan. Meskipun begitu peternak tidak boleh lengah terhadap penyakit yang disebabkan virus ini karena bersifat laten di peternakan
Alatternakayam – AI (Avian Influenza) masih menjadi salah satu penyakit yang menjadi momok di tanah air khususnya baik peternak broiler (ayam pedaging) dan layer (ayam petelur). Kabar baiknya, kasus penyakit yang dikenal juga sebagai flu burung ini sepanjang tahun lalu cukup menurun dibandingkan di 2017 yang banyak menyerang peternak layer.
Peternak layer di Blitar, Jawa Timur, Rofi Yasifun, merasa bersyukur sepanjang tahun lalu peternakannya tidak terkena serangan AI varian H9N2 yang termasuk LPAI (Low Pathogenic Avian Influenza). “Hanya pada 2017 pernah terkena serangan H9N2 yang menyebabkan penurunan asupan pakan yang berlanjut dengan penurunan produksi terjadi di beberapa flock,” jelasnya kepada TROBOS Livestock.
Untuk di 2018, ia mendapat informasi salah satu peternakan layer di daerah Blitar ada yang terkena AI. “Kejadiannya di awal 2018 dengan angkanya kecil sekali mungkin tidak sampai 1 % dari populasi. Sebagai antisipasi, peternaknya langsung melakukan apkir dini,” ujarnya.
Peternak broiler di Bogor, Jawa Barat, Agus Suwarna mengaku peternakan yang dikelolanya belum pernah terkena serangan AI. Pasalnya, ia sudah melakukan antisipasi dengan menerapkan program vaksinasi AI sebanyak 2 kali ketika kasus penyakit ini marak terjadi.
Agus pun rela merogoh kocek sebagai tambahan biaya produksi sebanyak Rp 100 – 150 per ekor khusus untuk menangkal AI. “Manajemen bioskeuriti yang ketat juga kita lakukan sehingga kasus AI di kandang tidak terjadi,” ungkapnya.
Berdasarkan pengamatan SBU Animal Health and Poultry Equipment Technical PT Vaksindo Satwa Nusantara, Yusman Friyadi, sepanjang tahun lalu kasus AI menurun baik yang HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza) dan LPAI. Dengan populasi unggas yang cukup besar pengendalian AI di dalam negeri sudah jauh lebih baik. “Kasus AI H5N1 sudah jauh menurun dan kasus H9N2 yang dua tahun lalu sempat merebak relatif bisa dikendalikan. “Data AI dari pemerintah pun sekarang cukup kuat dan mempunyai laboratorium yang komprehensif di beberapa daerah,” terangnya.
Jika melihat sejarahnya, sejak 2003, penyakit AI cukup pasang surut. Tetapi, mau tidak mau peternak harus hidup dengan AI. Kondisi ini, kurang lebih dialami juga peternak – peternak di negara – negara Asia lainnya.”Hanya, negara kita sudah dalam arah yang benar untuk proses pengendalian penyakit AI ini dibanding beberapa negara lain,” cetusnya.
Ia mencontohkan Vietnam baru tahun lalu membolehkan registrasi vaksin AI H5N1, padahal kalau dilihat sirkulasi virusnya sudah banyak. Belum lagi, karena dilarang peternak mencari cara menyelamatkan unggas dengan mendatangkan vaksin – vaksin yang tidak tahu isinya, sehingga memperburuk situasi. Lalu Mesir yang menerapkan vaksinasi tidak ketat seperti di Indonesia dengan konsep vaksin homolog. Mereka mempersilahkan vaksin heterolog masuk, sulit juga pengendalian AI dengan seperti itu.
Telah Bergeser
Walaupun selama 2018 kasus AI menurun bukan alasan untuk tidak mewaspadai di 2019, karena virus AI selalu bermutasi. “Perkembangan AI dari dulu sampai sekarang selalu berubah, karena memiliki sifat bermutasi. Misalnya pada 2012, muncul AI clade 2.3.2, dan ternyata berkembang terus variannya sampai sekarang. Walaupun masih termasuk clade 2.3.2, namun sudah berbeda dibanding awal kemunculannya,” ungkap Head Unit Research & Development PT Sanbio Laboratories, Syamsidar.
Sebenarnya, pemerintah mengeluarkan master seed vaksin AI yang sudah diproduksi beberapa produsen obat hewan di tanah air yaitu strain AI Sukoharjo. “Ternyata strain AI Sukoharjo saat ini dibandingkan pada 2015 sudah mengalami pergeseran sebanyak 2-3 %,” katanya.
Merujuk ke FAO, sambung Syamsidar, pergeseran strain 1,5 % saja cukup riskan bagi peternak di lapangan, apalagi sudah 2-3 % pergeserannya. “ Artinya, sudah jauh berbeda antara vaksin dengan virus yang ada,” cetusnya.
Di tahun lalu, kasus AI biasanya terjadi pada puncak musim hujan seperti pada Oktober – November dan Januari – April. Perkembangan jumlah kasus penyakit pun cukup meningkat di bulan – bulan tersebut seperti AI, ND (Newcastle Disease), dan gumboro.
Dalam perkembangan penyakit AI, Yusman menceritakan kilas balik virus ini yaitu pada rentang 2003 – 2007 kebijakan vaksin masih heterolog dan ternyata banyak terjadi mutasi virus. Namun pada kuartal 2009, pemerintah melakukan ancang – ancang dengan lebih mengedepankan vaksin dari produsen obat hewan lokal dengan tujuan kecocokan virus yang utama lebih mendekati. Lalu pemerintah melakukan optimalisasi dari 2011 dengan mengeluarkan aturan, sehingga sekarang hampir 90 % lebih pengendalian AI menggunakan vaksin lokal dan secara siginifikan hasilnya nyata dengan prevalensi kasus yang menurun.
Namun pada 2012 – 2013, muncul H5N1 dengan clade 2.3 yang menyerang itik. Ternyata kalau dilihat pada tahun yang sama di Myanmar dan Vietnam terjadi juga kasus clade 2.3. “Berarti secara global mengalami perubahan yang sama dan garis merahnya adalah begitu jelas kalau kita tidak mengikuti perkembangan virusnya akan kecolongan,” katanya.
Pada 2017, muncul di lapangan kasus AI H9N2 dengan karakteristik tidak mematikan ayam, tetapi sangat mengganggu produksi. Untuk virus yang tergolong LPAI ini tidak mudah berubah dibandingkan HPAI. “Namun, kita tidak boleh lengah, sistem peringatan dini dan pengambilan data harus terus dilakukan untuk memastikan apakah terjadi mutasi atau tidak. Untuk AI ini informasi terkini terkait virusnya jangan sampai ketinggalan. Seperti kami yang mengembangkan sistem untuk memetakan perkembangan virus di lapangan, kemudian menjadi dasar pemakaian seed-nya,” klaim Yusman.
Antara LPAI dan HPAI
Kasus LPAI mempunyai karakteristik tidak menimbulkan kematian yang hebat bila dibandingkan dengan HPAI. Berdasarkan pengalaman, kematian terjadi sekitar 8 – 10 % selama rentang waktu seminggu setelah itu biasanya normal kembali. “Jika melihat efek terhadap produktivitas ayam, peternak menyebut produksi 90 % turun ke 40 %, lalu naik ke 60 %. “Fenomena paling nyata dari LPAI adalah produksi siginifikan turun sekitar dua minggu dan terjadi biasanya di ayam petelur masa produksi dan ayam bibit,” tutur Yusman.
Virus LPAI berbeda dengan HPAI. HPAI yang ganas sekali biasanya langsung membunuh unggas dan virusnya langsung mati. Makanya kalau dilihat fenomena H5N1 cenderung sirkulasi strainnya tidak berkembang lagi, sementara LPAI karena tidak membunuh unggas akan bersifat laten atau endemik yang terus berspekulasi di lingkungan, sehingga bisa menjadi ancaman sepanjang tahun.
Technical & Marketing Manager PT Ceva Animal Health Indonesia, Ayatullah M Natsir turut berpendapat, beda antara AI H5N1 yang merupakan HPAI dan H9N2 yang termasuk LPAI yaitu tidak ada kematian di H9N2, hanya terjadi kematian jika berkolaborasi dengan penyakit pernapasan seperti IB (Infectious Bronchitis). Pintu masuk kematian ayam, karena sulit bernapas akibat ada lendir atau keju di pernapasan ayam. Sementara ayam yang terserang H5N1 pintu masuk kematiannya, karena kerusakan organ dalam yang diakibatkan kekebalannya tidak optimal. “Untuk persamaannya, menyebabkan penurunan produksi di ayam petelur,” jelasnya.
Syamsidar menambahkan, untuk LPAI perkembangannya tidak terlalu siginifikan dan masih varian yang sama yang muncul di 2017. Sedangkan untuk HPAI masih varian 2.3.2 dan pada 2018 hampir mendominasi di daerah yang mempunyai populasi unggas cukup besar seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, serta Sumatera seperti Lampung, Medan, dan Palembang. “H9N2 yang masuk golongan Y280-Like mulai muncul akhir 2016 dan marak di 2017, sedangkan di 2018 trennya cukup menurun. Sampai sekarang variannya belum berubah, masih sama dengan varian sejak kemunculan awalnya,” tegasnya.
Monitoring Kuantitas & Kualitas Titer
Penyakit AI masih merupakan ancaman bagi peternak unggas di Indonesia, banyak teridentifikasi AI H5N1 di breeder dan layer. Di broiler informasinya ada, hanya tidak sebanyak di layer. “Saya merasa AI H5N1 ini harus diwaspadai, karena anggapan peternak kalau ayam sudah di vaksinasi selesai sehingga kontrol dan monitoring tidak diperhatikan. Kontrol dalam hal ini dengan mengamati sukses atau tidaknya program vaksinasi AI terutama di peternak – peternak komersial untuk layer maupun broiler. Mungkin yang masih jalan untuk kontrol dan monitoring di perusahaan – perusahaan besar,” tutur Ayatullah.
Tidak berjalannya kontrol dan monitoring AI di peternakan rakyat komersial disebabkan tidak cukup dana bagi peternak dan tidak ada sumber daya manusia untuk menganalisanya. Misalnya peternak ayam petelur yang mayoritas mandiri, sehingga tidak terkontrol cukup baik. Berbeda dengan pelaku usaha breeding farm yang terintegrasi dengan perusahaan besar sehingga mempunyai fasilitas laboratorium yang baik.
Ayatullah menyampaikan, jika kandang sudah terserang H5N1, maka ada dua hal berbeda yang harus dilakukan yaitu pencegahan dan perlindungan. Pencegahan dengan menganalisa mengapa virus AI bisa masuk ke kandang yang kaitannya dengan dengan sanitasi, biosekuriti, dan lain-lain.
Sedangkan perlindungan terkait dengan kekebalan ayam yang terdiri atas dua aspek yaitu kuantitas dan kualitas titer antibodi. Kuantitas yaitu seberapa tingkat titer yang dibentuk, diumur berapa (umur produksi, pullet atau starter) dan harus mempunyai minimum kuantitas titer. “Sekarang menjadi permasalahan, monitoring untuk kuantitas titer oleh peternak layer dan breeder kecil terkait baseline titer AI tidak semua memiliki. Saat pencegahan gagal, berarti titernya masih rendah sehingga ayamnya sakit,” ungkapnya.
Saat ini, peternak banyak fokus ke titer yang harus homolog, tetapi tidak melakukan monitoring kualitasnya seperti bagaimana perkembangan genetik virus lapangan. Sehingga bagi peternak yang tidak mempunyai kemampuan untuk monitoring titer antibodi mau tidak mau harus selalu berdiskusi dengan supplier vaksin, karena daripada tidak ada referensi sama sekali. “Untuk monitoring titer antibodi ini minimal 1,5 – 2 bulan sekali, tetapi di umur ayam kecil bisa 5 minggu sekali,” kata Ayatullah.