Sumber Gambar: http://www.trobos.com

Alatternakayam – Usaha peternakan layer (ayam petelur) sejak lama sudah menjadi aktivitas utama dari sebagian masyarakat Indonesia. Usaha yang dijalankan peternak ini pun berkembang dinamis seiring dengan perubahan yang terjadi di tanah air.

Berbagai persoalan dan tantangan dihadapi peternak di lapangan dalam menjalankan bisnis peternakannya. Yang pertama adalah tantangan penyakit yang terus membayangi peternakan dan kasusnya bisa muncul kapan saja. Kebijakan pemerintah yang mencabut penggunaan AGP (Antibiotic Growth Promoter) dalam pakan melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 14/Permentan/PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan yang efektif diberlakukan mulai awal tahun ini menambah tantangan yang dihadapi peternak.

Dicabutnya penggunaan AGP dalam pakan berpengaruh terhadap upaya peternak dalam mengendalikan penyakit di lapangan. Pasalnya, selama ini peternak terbiasa dengan pemeliharaan menggunakan AGP sehingga bisa dikatakan penyakit itu lebih mudah diatasi. Meskipun begitu, pelarangan penggunaan AGP ini bukan satu-satunya penyebab munculnya penyakit di kandang.

Adapun penyakit di layer yang masih belum ada solusinya dalam 2 tahun terakhir ini adalah terjadinya penurunan produksi telur yang disebut kasus 90/40. Kasus penyakit ini ditandai dengan menurunnya produksi telur dari 92-94 % menjadi 60 % bahkan di peternak kecil bisa turun sampai 40 %. Kalau penanganan kasus ini tidak bagus maka untuk meningkatkan produktivitas ayam ke 80-85 % akan berat sehingga bisa berdampak pada jumlah pasokan telur yang berkurang.

Ada yang mengatakan kasus penyakit ini adalah H9N2 tapi di lapangan peternak bilang hasilnya negatif. Adapula yang mengatakan ini adalah kasus penyakit IBH (Inclusion Body Hepatitis). Untuk itu, pemerintah harus hadir dan turun tangan menyelesaikan kasus ini sebagaimana dulu ketika muncul kasus AI (Avian Influenza/flu burung). Pemerintah memiliki pakar, dinas, dan laboratorium terkait yang bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan ini.

Yang kedua adalah persoalan fluktuasi harga telur. Harga telur yang naik ditingkat peternak akibat penyakit yang menyebabkan produktivitas ayam menurun yang berimbas pada pasokan telur yang berkurang. Sementara itu, permintaan telur di masyarakat meningkat karena ada kebijakan dari beberapa pemerintah daerah yang mengubah bantuan langsung tunai menjadi bantuan langsung non tunai. Seperti yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Pasuruan yang memberikan bantuan ke masyarakat miskin dengan salah satu komoditasnya adalah telur. Itu artinya, terjadi tambahan permintaan di masyarakat yang selama ini bukan bagian dari pasarnya telur.

Persoalan ketiga adalah nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap rupiah saat ini yang tinggi padahal 35 % dari bahan baku pakan berasal dari impor. Keempat, adalah persoalan jagung. Kalau pemerintah tidak mengizinkan impor jagung maka diharapkan pemerintah bisa mengendalikan harga jagung lokal. Per (24/7), harga jagung lokal sudah Rp 4.200 per kg di Jawa Timur yang kemungkinan besar di Jakarta harganya bisa di kisaran Rp 4500 – 4.600 per kg. Padahal sebelumnya, harga jagung sekitar Rp 3.800 per kg atau naik Rp 400 per kg. Kalau penggunaan jagung di pakan sekitar 50 % maka dengan naiknya harga jagung seperti itu akan menambah biaya produksi di tingkat peternak Rp 700 per kg atau HPP (Harga Pokok Produksi) di tingkat peternak sudah di atas Rp 19.000 per kg. Sementara pemerintah menginginkan harga telur Rp 19.000 per kg sesuai dengan harga acuan ditingkat peternak (farm gate).

Perlu Solusi Cepat 
Pemerintah harus menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi peternak seperti persoalan makro ekonomi terkait kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah, harga bahan baku pakan, dan penyakit. Terkait harga bahan baku pakan, pemerintah harus melihat penentuan harga farm gate di tingkat peternak ini melalui variabel harga pakan yang berimbas terhadap HPP peternak. Jika harga jagung di kisaran Rp 3.500 per kg HPP peternak bisa ditekan. Persoalannya, pemerintah bisa nggak menurunkan harga jagung lokal menjadi Rp 3.500 per kg.

Jika dikaji lebih jauh, harga telur yang tinggi ditingkat konsumen belum tentu bisa dinikmati keuntungannya oleh peternak. Pemerintah perlu melakukan penelusuran agar bisa diketahui pihak yang memainkan untung paling besar dari penjualan telur ini yang bisa dimulai dari para pedagang kios yang menjual telur langsung ke konsumen hingga ke peternak yang menjadi pemasoknya. Dari penelusuran itu, kita bisa menganalisa siapa sebetulnya yang memainkan harga telur agar bisa ditindak oleh pemerintah. Saat pemerintah memanggil peternak semestinya pedagang telur juga dipanggil agar diperoleh informasi yang lengkap.

Adanya produktivitas ayam yang turun akibat kasus penyakit yang belum ada solusinya sampai saat ini membuat HPP peternak jadi meningkat. Pemerintah dengan pihak terkait semestinya turun untuk melihat kondisi di peternak yang sebenarnya secara menyeluruh. Mengingat, bidang peternakan ini merupakan penggerak ekonomi masyarakat yang ada di pedesaan seperti yang terjadi di Blitar Jawa Timur sebagai sentra peternakan layer. Saat ini, Blitar menjadi pemasok kebutuhan telur nasional sebesar 35 %. Kondisi ini sesuai dengan yang dikehendaki pemerintah yang menginginkan one village one product.

Jika usaha peternakan ini berhenti dikhawatirkan masyarakat desa urbanisasi ke perkotaan atau keluar negeri sehingga ekonomi di desa-desa ini menjadi tidak hidup. Padahal, usaha peternakan layer ini sudah ada dan tumbuh di pedesaan yang otomatis tidak ada urbanisasi ke kota. Sehingga, penggerak ekonomi di pedesaan ini harus dijaga keberlangsungannya oleh pemerintah agar petani hidup, peternak hidup, dan konsumen tidak beli telur dengan harga mahal.

Ketika harga telur tinggi, pemerintah harus punya katalisator sebagai penyeimbang. Pemerintah harus punya stok liquid egg (telur cair) yang dikeluarkan pada saat harga telur tinggi untuk memenuhi kebutuhan pabrik roti dan tidak boleh dikeluarkan kalau harga telur tidak tinggi. Pemerintah pun harus hadir bukan hanya ketika harga telur tinggi tetapi hadir juga ketika harga telur ditingkat peternak rendah.

Jagung sebagai bahan baku pakan utama bisa menjadi katalisator yang berdampak pada harga telur. Jika petani bisa bertani dengan baik dan harga jagung di kisaran Rp 3.300 – 3.700 per kg, peternak akan senang dan HPP bisa lebih efisien. Ketika HPP ditingkat peternak seperti saat ini Rp 19.600 per kg dan harga telur ditingkat konsumen Rp 27.000 per kg akan bisa turun lagi jika harga jagungnya turun.

Agar biaya produksi peternak terjaga, pemerintah bisa memberikan subsidi untuk jagung ini sehingga peternak pun tidak menjual telur dengan harga yang terlalu tinggi. Peternak lebih menyukai jagung lokal dibanding jagung impor. Namun ketika jagung lokal susah didapat maka pemerintah mestinya membolehkan impor jagung untuk stok karena ritme produksi jagung di dalam negeri sudah ketahuan. Yang penting di saat panen raya jangan impor jagung supaya petani tidak sakit hati. Seperti kondisi sekarang yang diprediksi sampai akhir tahun ini ada kemungkinan kekurangan jagung sehingga peternak membutuhkan jagung impor. Kalau pasokan jagung memadai tidak perlu ada katalisator liquid egg lagi karena produksi telur bisa dipenuhi dari dalam negeri. Untuk itu, jika pemerintah membuat parameter farm gate untuk harga telur juga harus diikuti dengan membuat parameter untuk harga pakannya.

Hal yang penting lainnya yang harus dilakukan pemerintah adalah mengadakan studi komprehensif untuk mendata populasi layer secara menyeluruh dan permintaannya di masyarakat agar dapat diketahui pasokan dan permintaannya. Karena selama ini antar kementerian di pemerintah belum memiliki database yang sama. Padahal kalau mau terbuka dan jujur dari data impor GPS (Grand Parent Stock) sudah ketahuan semua. Hitungan keturunan dari GPS ke PS (Parent Stock) dan dari PS (Parent Stock) ke FS(Final Stock) juga sudah ada tinggal mau jujur atau tidak. Kalau datanya sudah diperoleh, pemerintah tinggal mengukur permintaan dan daya beli masyarakat sehingga tujuan untuk melindungi keberlangsungan usaha dari rakyatnya bisa tercapai.

 

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi
Alangkah indahnya jika melalui usaha peternakan layer ini semua pelaku usaha terkait bisa menikmati keuntungan bersama-sama dan konsumen bisa membeli telur tidak dengan harga yang wajar. Untuk itu, sangat penting bagi kita untuk memiliki tujuan bersama guna membangun negeri ini agar menjadi negeri yang besar, maju, dan berperadaban termasuk memperbaiki rencana kerja dan etos kerja untuk Indonesia yang lebih baik.

Penulis yakin, kalau didukung dengan pertumbuhan ekonomi yang baik maka bisnis ayam petelur pasti sangat bagus. Kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani bahwa telur harganya paling terjangkau menunjukkan bahwa masih ada peluang untuk keberlanjutan usaha peternakan layer ini. Tetapi faktor daya beli akan produk protein hewani termasuk telur ini tetap harus diikuti pertumbuhan ekonomi yang baik di dalam negeri dan edukasi yang berkelanjutan tentang pentingnya konsumsi telur.

Sedangkan bagi peternak, prinsip efisiensi dalam semua rantai produksi harus tetap dipegang teguh untuk menghadapi tantangan ke depan agar usaha peternakan yang dijalankan tetap berkelanjutan. Tidak hanya itu, untuk memotong atau memperpendek mata rantai distribusi dan pemasaran telur yang panjang, peternak harus menciptakan dan membuat pangsa pasarnya sendiri sehingga harga telur tetap terjangkau oleh masyarakat.

Baca Juga: Trik Antimainstream Agar Ayam Kampung Hasilkan Telur Melimpah

Sumber: http://www.trobos.com