Bagi masyarakat perunggasan, tentu istilah ayam ras bukanlah sebuah hal yang asing di telinga. Ayam yang mempunyai sifat keunggulan tertentu ini, berperan besar dalam pemenuhan protein hewani masyarakat Indonesia. Pasalnya daging maupun telur ayam ras merupakan sumber protein hewani yang bergizi, mudah di dapat dan harganya pun relatif lebih terjangkau. Apabila mengacu pada Permentan No 61 tahun 2016 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras, pada pasal satu disebutkan bahwa ayam ras merupakan ayam hasil persilangan dari beberapa bangsa ayam di dunia yang memiliki keunggulan tertentu. Saat ini, dalam masyarakat dikenal 2 jenis ayam ras yakni pedaging (broiler) serta petelur (layer).

Berbagai perkembangan yang terjadi

Ayam ras yang ada di dunia merupakan hasil riset dan seleksi genetik dari puluhan bahkan ratusan generasi untuk memperoleh ayam dengan keunggulan tertentu. Seperti halnya pada broiler, mungkin dulu orang tidak akan menyangka kalau ayam akan bisa tumbuh dengan secepat ini. Bahkan sampai beredar isu yang berkembang di masyarakat bahwa proses tersebut merupakan hasil dari penyuntikan hormon pemacu pertumbuhan. Padahal hal itu sangat tidak masuk akal, karena hormon pertumbuhan memiliki harga yang sangat mahal dan tidak sebanding dengan biaya pokok produksi usaha peternakan.

Pada era 1980-an berat badan ayam umur 35 hari hanya berkisar 1,0 – 1,1 kg dengan FCR 1,9. Namun dengan majunya teknologi dan proses seleksi genetik yang semakin baik, broiler modern pada umur 35 hari mampu mencapai bobot di atas 2 kg, dengan FCR sekitar 1,5. Perkembangan genetik pada broiler ini diamini oleh Sekretaris Jenderal Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia, Muchlis Wahyudi. Saat berdiskusi dengan Poultry Indonesia secara daring, Kamis (13/7), Muhlis menjelaskan bahwa setiap dekade, perkembangan genetik broiler itu sangat signifikan pertumbuhannya. Terutama yang berhubungan dengan tingkat efisiensinya, baik kecepatan tumbuh, nilai FCR, hingga proporsi karkas.

“Saya lihat karakteristik broiler saat ini sangat cepat pertumbuhannya. Apalagi ketika telah melewati bobot 1,8, maka akan tumbuh sangat cepat. Begitupun ketika dikonversikan menjadi karkas. Katakanlah panen 2,2 kg maka karkasnya bisa jadi 2 kg. Jadi konversinya sudah sangat baik. Tapi kalau bobot di bawah 2 kg konversinya tidak sebesar itu, misal panen 1,5 kg, mungkin yang jadi daging sekitar 1,2 kg. Jadi sebenarnya peternak pun lebih senang panen besar, namun semua kembali pada kebutuhan pasar,” jelasnya.

Tak hanya itu, Muchlis melanjutkan bahwa peningkatan efisiensi juga terlihat pada konsumsi pakan. Menurutnya, berbicara broiler modern saat ini, untuk mencapai bobot 2 kg, FCR nya bisa 1,4. Jadi feed intake nya 2,8 kg dan bisa tercapai pada umur 28 hari, dengan IP bisa 500. Ia melihat bahwa di lapangan, bobot 2 kg di umur 28 hari itu sudah biasa, dengan catatan  semua kebutuhan ayam terpenuhi dan manajemen tepat.

“Saat ini pun untuk mencapai IP 500 bukanlah sesuatu yang susah. Dalam artian apabila semua kebutuhan broiler terpenuhi sesuai dengan panduan guide book yang ada, maka IP 500 itu bukan sesuatu hal yang sulit. Intinya, broiler saat ini semakin efisien, dengan proporsi daging yang besar, makannya sedikit, dan umur pemeliharaan yang pendek,” tegasnya.

Namun demikian, Muhlis menegaskan bahwa memang yang harus diperhatikan bagaimana peternak memenuhi kebutuhan ayam tersebut. Kebutuhan nutrisi harus tepat, suhu, kelembapan dan lingkungan harus tepat, gradingnya pun harus ketat. Terlebih masa brooding di 2 minggu awal menjadi sebuah hal vital yang harus diperhatikan. Apalagi dengan iklim tropis yang ada di Indonesia, maka lingkungan sangat luar biasa berpengaruh, sehingga tata laksana atau manajemen pemeliharaan mempunyai peran vital dalam keberhasilan budi daya.

“Maksud saya dengan kondisi saat ini, kendang closed house menjadi sebuah keharusan. Karena memang kemajuan potensi genetiknya seperti itu. Dengan ayam yang cepat tumbuh, maka dibutuhkan kenyamanan pada ayam üntuk menekan stres yang bisa mengganggu prestasi produksi. Kalau kandang closed house bisa kondisikan. Namun apabila kandang open house, saya kira dengan kondisi saat ini yang siang panas sekali malam dingin sekali maka akan berat,” tegasnya

Pada kesempatan yang terpisah, Amin Suyono, selaku Key Accounts Technical Manager, Cobb Asia Pacific menjelaskan bahwa dari perkembangan genetik broiler yang terjadi, saat ini dibutuhkan lebih sedikit biji-bijian dan pakan untuk memproduksi daging ayam. Artinya efisiensi pakan pada broiler ini terus meningkat.

“Berbicara genetik broiler, memang saat ini sudah jauh lebih efisien. Contoh pada tahun 1957 untuk menghasilkan ayam dengan bobot 2,2 kg membutuhkan pakan 6,01 kg. Untuk saat ini, pada tahun 2020 lalu, untuk menghasilkan bobot yang sama hanya dibutuhkan 3,82 kg pakan. Atau hanya sekitar setengahnya. Kemudian, perkembangan juga terjadi pada proporsi karkasnya yang dulu pada tahun 1957 hanya sekitar 61 %, dan pada tahun 2020 sudah di atas 82,03 %,” terang Amin saat dihubungi Poultry Indonesia secara virtual, Minggu (21/7). Dirinya menambahkan bahwa perubahan juga terjadi pada proporsi daging dada broiler. Dimana dulu proporsinya hanya 11,5%, sekarang naik juah menjadi sekitar 27,88 %. Jadi tak heran apabila bentuk broiler dulu ramping dan terlihat seperti pejantan layer, namun sekarang menjadi lebih bulat.

Setali tiga uang, saat ini perkembangan genetik juga terjadi pada layer. Dimana layer modern memiliki siklus produksi yang lebih panjang, tingkat persistensi yang lebih baik serta produktivitas yang lebih tinggi dari masa sebelumnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Erwan Julianto selaku Technical Service Manager Indonesia & Philippines di ISA -BV. Hendrix Genetics dalam sebuah diskusi dengan Poultry Indonesia secara daring, Jumat (14/7). Terkait siklus produksi, menurutnya layer modern saat ini bisa berproduksi dengan baik hingga mencapai umur 100 minggu, dimana yang sebelumnya siklus produksi hanya sekitar 80 minggu.

“Kalau dulu di umur produksi 80 minggu, ayam mampu menghasilkan telur sekitar 350 butir. Dan saat ini, dengan perkembangan genetik yang membuat persistensi produksi meningkat maka ada penambahan produksi sekitar 20 butir telur. Artinya layer masa kini mempunyai tingkat produksi yang lebih stabil dan tidak cepat turun. Dan dengan siklus produksi yang lebih panjang hingga 100 minggu, maka akan ada penambahan produksi sekitar 100 butir telur. Jadi kalau layer dulu dalam 1 siklus bisa menghasilkan 350 butir telur, maka layer modern saat ini bisa memproduksi 470 butir telur hasil dari persistensi yang lebih baik dan umur produksi yang lebih panjang,” tambahnya.

Tak seperti broiler yang berproduksi lebih cepat, Erwan menjelaskan bahwa untuk layer modern mempunyai umur awal produksi yang cenderung sama. Menurutnya beresiko untuk membuat ayam lebih cepat bertelur, karena organ-organ reproduksi ayam belum siap, sehingga kalau dipaksa akan berdampak negatif. Artinya para ahli genetik juga tidak memaksakan untuk ayam lebih cepat bertelur, karena pondasinya pun harus kuat dulu. “Selain itu, kualitas telur yang dihasilkan oleh layer modern juga lebih terjaga. Dimana kualitas kerabang lebih baik, berat telurnya stabil dan lebih seragam. Apabila dulu ukuran telur layer itu sangat bervariasi, maka saat ini akan lebih stabil dan seragam,” terangnya.

Lebih lanjut, Erwan mengingatkan bahwa yang juga harus diperhatikan adalah bagaimana faktor lain memengaruhi performa produksi ayam. Memang faktor genetik berkembang dengan baik, tapi itu hanya berpengaruh sekitar 10-15 % pada performa produksi. Masih ada manajemen, pakan, cuaca, perkandangan dan lain sebagainya yang mempunyai porsi besar dalam mengoptimalkan performa produksi. “Kalau potensi genetik kita tidak ragu, tapi untuk dapat mengoptimalkan itu, maka bagaimana manajemen ini dibuat sedemikian rupa sesuai kebutuhan ternak. Makanya para perusahaan juga terus mendukung peternak untuk membenahi manajemennya. Karena saya melihat, secara nasional pun masih banyak space yang bisa ditingkatkan untuk dapat mengoptimalkan potensi genetik yang ada,” tegasnya.

Produksi pembibitan

Dari berbagai perkembangan genetik yang terjadi, nampaknya semua akan bermuara pada upaya untuk meningkatkan efisiensi produksi. Tak terkecuali pada usaha pembibitan. Ketua Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) menjelaskan bahwa perkembangan genetik ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi produksi, sehingga bisa menghasilkan daging lebih cepat, atau telur lebih banyak, serta efisien dalam penggunaan pakan dan lain sebagainya. Perkembangan genetik ini bersumber dari pure line. Sehingga dalam ranah perusahaan pembibitan nasional yang memelihara Grand Parent Stock (GPS) dan Parent Stock (PS), perkembangan genetik pada layer dan broiler otomatis terjadi secara nyata.

“Kalau 10 tahun yang lalu, dengan pemeliharaan yang bagus dan efisien mungkin 1 GPS broiler hanya mampu memproduksi sekitar 47-48 PS. Sedangkan saat ini, dengan kondisi yang sama mungkin sudah bisa mencapai 55-56 PS. Begitupun untuk 1 PS broiler, pada 10 tahun lalu mampu produksi antara 138-140 final stock (FS), namun sekarang dengan perlakuan yang sama, bisa meningkat mencapai 150-152 FS. Ini kan sudah terjadi peningkatan. Belum lagi berbicara dengan indikator produksi lainnya,” jelasnya saat ditemui di kediamannya, Kamis (20/7).

Begitu pun pada layer juga terjadi peningkatan. Dimana, mungkin pada 10 tahun lalu, dari GPS ke PS itu antara 70 -74, saat ini sudah meningkat mencapai 70-90 ekor. Sedangkan untuk PS-FS yang dulu hanya 90 – 94, sekarang sudah mencapai 100-120. Namun semua kembali pada utilitasnya, sehingga tergantung pada pasar. Apabila pasar sedang turun bisa saja di bawah itu, begitupun sebaliknya.

“Yang perlu diingat adalah walaupun genetik merupakan salah satu faktor yang penting dalam menghasilkan performa produksi yang baik, namun hal tersebut hanya sebagian kecil dari faktor penentu keberhasilan pemeliharaan. Pengaruh genetik pada prestasi produksi ayam tidak lebih dari 30 % (broiler), bahkan pada layer hanya sekitar 10 -15 %.  Faktor lain yang juga tak kalah berpengaruh adalah kondisi lingkungan, pakan dan manajemen pemeliharaan. Maka dari itu, saat ini ayam ras dipelihara dalam kondisi senyaman mungkin dengan pakan yang disesuaikan dengan kebutuhannya agar potensi genetik yang ada bisa keluar,” ungkapnya.